"Daffa?! Di mana Daffa?" Aku kalang kabut mencari Daffa yang sudah tidak ada disisiku, berteriak mencari keberadaan anak itu.
Bagaimana bisa aku tertidur kembali setelah subuh, mungkin karena tadi malam aku benar-benar sulit untuk tidur, Daffa yang tidak mau menutup matanya seakan terus mengajakku bermain. Walau sejujurnya diri ini sangat letih karena harus mengurus beberapa pelanggan penting yang tidak boleh sembarangan dilayani.
Tepat pukul dua dini hari aku baru saja memejamkan mata, dan harus kembali bangun pada pukul empat untuk persiapan salat Subuh dan menyiapkan sarapan juga baju kerja untuk mas Reyhan.
Sesibuk apa pun, selelah apa pun, aku akan tetap melayani segala kebutuhan suamiku.. haha.. sekarang aku seperti memiliki dua orang bayi sekaligus yang harus terus diperhatikan.
Aku mencari ponselku untuk mengetahui pukul berapa sekarang. Ahh.. rasanya aku kesal sekali dengan diriku kenapa aku selalu kehilangan barang di saat mendesak. Dengan langkah cepat sambil mengikat rambutku dengan cepat, aku tak peduli penampilanku yang terpenting anakku ketemu, walau dia bukan anak yang keluar dari rahimku tapi ditubuhnya juga mengalir darahku, jika tidak ketemu apa yang harus kukatakan dengan mbak Sarah nanti setelah dia sadar.
"Mbak Dinda, jangan berlari bahaya mbak, Mbak kan sedang hamil." Bi Ningsih menyeru ke arahku.
"Ya ampun, aku sampai lupa kalau aku sedang hamil," kataku sambil menepuk keningku.
"Bi Ningsih lihat Daffa?" Tanyaku panik.
"Oh.. Den Daffa lagi di luar Mbak, Sama Mas Reyhan, sedang di jemur di halaman belakang."
"Mas Reyhan? Memang dia tidak kerja? Tapi baju kerjanya sudah tidak ada di atas kasur?" Walaupun aku terburu-buru tapi aku melihat jelas kalau baju mas Reyhan sudah tidak ada, bukanlah artinya mas Reyhan sudah berangkat ke kantor?
"Bibi juga kurang tau mbak, setau bibi hari ini hari Ahad, bibi kira memang mas Reyhan sedang libur."
"Hari Ahad?! Astagfirullah Al-Azim, ya memang mas Reyhan sedang libur Bu kalau hari Ahad, yang sudah terima kasih ya Bi.."
"Sama-sama mbak, bibi lanjut nyuci dulu ya.." aku mengiyakan dan Langsung menuju halaman belakang, dengan halaman yang tidak terlalu luas tapi dipenuhi dengan tanaman hias dan berbagai macam bunga mawar yang indah.
"Eh bunda.." senangnya hatiku dapat dipanggil bunda. Semalam kita sudah membuat kesepakatan akan mengganti nama panggilan menjadi bunda dan ayah. Terutama ketika di depan anak-anak. Walaupun mereka masih kecil tapi mereka juga sudah mulai dapat mendengar dan melihat.
"Ayah sama Abang lagi apa nih?" tanyaku. Sembari melihat bayi merah itu sedang bertelanjang dada dengan posisi tengkurap. Dipangkuan mas Reyhan yang sedang duduk dibangku taman.
"Lagi jemur bunda.." jawab mas Reyhan mewakili si kecil yang belum dapat berbicara.
"Sudah berapa lama yah? Jangan lebih dari lima belas menit ya yah.." aku memberi peringatan kepada mas Reyhan. Karena takut jika kulit bayi yang masih merah itu malah jadi terbakar karena sinar matahari.
"Tidak bunda, kita baru sepuluh menit, Lima menit lagi ya kan bang?" Aku terkekeh mendengar mas Reyhan mengajak bicara Daffa dan Daffa hanya dapat memainkan kedua tangan dan kakinya mungkin pertanda menyetujui ucapan ayahnya.
Aku ikutan duduk dibangku taman tepat disisi mas Reyhan, dan bersandar pada bahunya.
"Ayah.. maafkan bunda ya.." lirihku. Tiba-tiba saja aku teringat kejadian tadi pagi, ku kira mas Reyhan memang akan berangkat kerja. Lagi-lagi aku selalu saja melupakan hari.
"Maaf kenapa Bun?"
"Tadi pagi--"
"Iya ayah tau bunda pasti kecapaian kan semalaman ngurusin Abang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir Adinda (END) ✓
RomanceTELAH TERBIT!! Novel Fiksi Romantis-spiritual ⚠️JANGAN BACA KALAU HANYA MEMBUATMU LALAI!! Al-Qur'an sebaik-baiknya bacaan 🙏 Tiba-tiba dijemput pria asing dan mengaku sebagai mahramnya? Siapa dia? "Tentang keikhlasan, kesabaran dan pengorbanan" seor...