S1. - 14. Pondok Pesantren

1.7K 168 3
                                    

Spam komen yuk 😂
Dan pencet tombol bintang 🌟 nya juga ya 🥳

🕊️🕊️🕊️

Pagi ini merupakan pagi yang cerah diawali dengan senyuman dan kali ini aku berangkat ditemani ayah. Sungguh perjalanan yang amat membosankan dalam hidupku, Ketika berada di kendaraan yang dapat kulakukan hanyalah memainkan ponsel dan tidur.

Bahkan entah mengapa nomornya Mas Reyhan tidak aktif, apa dia lupa bahwa ini hari terakhir kumemegang ponsel?

Suamiku itu mulai sibuk akhir-akhir ini, dia tak lagi fast respons saat menerima panggilan dariku, ya mau bagai mana lagi dia sudah mau menuju semester akhir, pasti sibuk. Lagi-lagi aku harus memakluminya.

Di kendaraan aku hanya dapat menatap ke arah jendela pemandangan Indonesia yang sungguh menenangkan jiwa. Di kota kelahiranku ibu kota tercinta, mana ada yang seperti ini, aku jarang sekali bahkan mungkin hanya bisa dihitung dalam hitungan setahun sekali -miris ya-.

Aku hanyalah gadis yang hidup di tengahnya kota metropolitan, sampai akhirnya aku pindah ke kota sebelahnya, suasana di sana juga tak jauh berbeda dengan kota kelahiranku, sama-sama ramai padahal aku tidak suka keramaian. Di saat para kaum hawa yang sangat senang bepergian ke mall, dan aku adalah kebalikannya.

Siapa sangka gadis manja dan pemalas ini selalu dituntut untuk menjadi sosok gadis yang mandiri, hingga akhirnya kedua orang tuaku bersepakat agar aku di masukan ke sini.

Di sini, di kota santri, di tengah ke modernisasi, aku sampai di depan gerbang utama yang disambut oleh penjaga.

"Baru sampai Neng?"

"Iya Pak. Saya masuk mau taruh barang-barang dulu ya, permisi Pak," ujarku ramah kepada penjaga sambil mendorong koper merah muda milikku.

Aku mulai melangkahkan kakiku melihat lingkungan sekitar masih sepi seperti kota mati.

Sedangkan ayah dia sudah kembali pergi setelah berpamitan denganku, dia berpesan agar salalu bersemangat dalam menuntut ilmu bersihkanlah hati karena itu adalah tempat ilmu.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang setelah menaruh semua barang-barangku? Aku mulai berpikir, hingga aku teringat sepertinya aku harus ke rumah Ustazah Zaskia.

Sebelumnya aku berusaha menghubungi Mas Reyhan, semoga saja suamiku menerima panggilanku kali ini, Sudah panggilan ke 10 bahkan sepertinya lebih, lagi-lagi suamiku itu tidak menerimanya, membuat hatiku geram sekaligus dilanda kecemasan.

Aku memilih meninggalkan ponselku dan membersihkan diriku yang sudah terasa lengket karena perjalanan jauh itu, mungkin teman-temanku akan tiba besok.

Ketika aku keluar kamar mandi aku dikejutkan dengan teriakkan seseorang,

"Ayaa!" teriaknya sambil memelukku, entah kapan dia tiba.

"Astagfirullah Al-Azim, Ara?! kamu ngagetin aja!" keluhku pada Zahra yang biasa kupanggil dengan sebutan Ara dan dia memanggilku dengan sebutan Aya.

Jangan heran, Aku memang memilik banyak nama panggilan, karena memang aku mempersembahkan bebas mau memanggilku dengan sebutan apa asal tidak dengan sapaan jelek, contohnya orang rumahku akan memanggilku Dinda, dulu katanya Mas Reyhan memanggilku Dindin, sementara teman sekolahku memanggilku Alyaa, Al, Aya, Yaya, Ay, dan sebagainya itu adalah sebutan teman-temanku.

"Apa kabar? kapan sampai?" tanyanya sambil melepaskan pelukan.

"Alhamdulillah, baru sampai tadi. tapi mandi dulu. Kamu Apa kabar? Kapan sampai?"

"Alhamdulillah sehat, Ya aku mah sudah seperti penghuni pondok. Aku pulang akhiran dan datang awalan, haha.. aku juga baru tiba!" ungkapnya.

"Oh iya, Ay.. dari tadi HP kamu berdering terus, kayanya ada panggilan penting. Coba angkat dulu,"

Garis Takdir Adinda (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang