S2 - 41. Ini Darurat!

798 91 2
                                    

Jangan lupa pencet tombol bintang 🌟 ya sebelum baca! Lop yu ❤️

🌼🌼🌼

W

anita paruh baya dengan dibalut hijab instan menutup dada yang usianya sudah tidak muda lagi, keriput di sekitar kulitnya sudah tampak jelas. Padahal usianya baru menginjak 50 tahun, semua itu karena dia adalah sosok pekerja keras dari muda. Tak kenal kata lelah demi memberi makan sesuap nasi untuk cucu satu-satunya.

Setelah dipersilakan masuk oleh pemilik kamar, di saat bersamaan Sarah mendapatkan telepon dan langsung izin pulang tak lupa mendoakan kesehatan untuk Dinda, dia berjanji akan datang lagi lain waktu.

Kita kembali ke wanita paruh baya itu, dia berdiri tepat di samping pemilik kamar yang masih terbaring di atas ranjang. Dia pun mulai memperkenalkan dirinya,

"Nama saya Ningsih nyonya."

Dinda mulai bangkit dari tidurnya dan beranjak duduk agar lebih sopan, bagaimana pun Ningsih juga orang tua yang harus tetap di hormati.

"jangan panggil saya nyonya, panggil aja saya Dinda. Bi Ningsih? Aku boleh panggil itu?" Ramah Dinda.

"Baik mbak Dinda, saya akan memanggil nyonya dengan Mbak Dinda. MasyaAllah nyonya dan tuan di sini begitu baik, tadi juga tuan bilang saya cukup memanggilnya dengan sebutan Mas Reyhan," puji Ningsih ketika melihat kerendahan hati majikan barunya, sangat jauh berbeda dengan majikan lamanya yang lebih sering bermain kasar dan suka menghardiknya.

"Terima kasih Bi, oh iya Apa tugas bibi sudah dijelaskan oleh suami saya?"

"Sudah nyonya, maksud bibi sudah mbak Dinda. Maaf mbak saya sudah terbiasa memanggil majikan saya dengan sebutan nyonya dan tuan." Jangankan memanggil mbak, dulu ketika dia bekerja dan ketika dipanggil sang nyonya dia bisa akan memar punggungnya jika telat datang. Sangat jauh berbeda dengan anak dan suaminya yang begitu menghormati Ningsih.

"Semoga bibi betah ya bekerja di sini, dan untuk masalah masakan mohon maaf suamiku suka sulit nyaman dengan masakan orang lain jadi biar aku aja yang masak untuk mas Reyhan."

"Baik Nyo—M--Mbak Dinda" Ningsih mengangguk hormat.

"Silakan bibi sudah boleh mulai kerja, kamar tidurnya di bawah dekat dapur, tidak mengapa kan Bi?" Perintah Dinda dengan penuh kelembutan. Dinda tidak pernah membeda-bedakan takhta, karena dia dulu berasal bukan dari keluarga yang serba berada, untuk dapat beli kebutuhan aja dia harus menabung.

Masalah pesantren sebenarnya dia melalui proses beasiswa santri teraktif dan berprestasi, maka dari itu disekolahnya, siapa yang tidak mengenal sosok Adinda Nurul Alyaa? Yang selalu ramah kepada semua orang tak terkecuali para cleaning servis. perubahan yang sangat signifikan semenjak SMA.

"Saya sudah biasa Mbak, Mbaknya tentang saja." tunduk dan patuh itulah yang sekarang harus dia lakukan tak ingin kejadian beberapa waktu lalu terulang kembali. Setelah itu dia izin keluar kamar dan Reyhan mulai mendekati sang istri dan duduk disisi ranjang.

"Bagaimana sayang kamu nyaman dengan Bi Ningsih?"

"insyaAllah Mas.. tapi dinda tadi bilang kalau masalah masakan biar dimda saja, karena Dinda tau mas paling susah kalau makan masakan orang lain." Papar Dinda dibalut senyum.

"Ya iya istri mas ini memang paling the best, oh iya sayang kamu udah lihat paketannya?"

"Belum, paketan apa sih mas?"

"Ini untuk kamu!" Reyhan bangkit dan membawa kardus cukup besar untuk sebuah paketan. Perlahan Reyhan mengambil gunting yang ada dalam laci nakas dan membuka paketan itu dengan perlahan.

Garis Takdir Adinda (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang