🍃EPILOG🍃

2.6K 97 12
                                    

Aku, Muhammad Haikal Reyhan. Biasa dipanggil Haikal oleh temanku dan Reyhan untuk orang keluargaku, Untuk remaja ukuran 12 tahun, mengejar cinta lawan jenis adalah suatu perlombaan di kalangan teman, ketika kita dengan seseorang disangka kita memiliki perasaan yang lain. Jujur saja saat itu aku tak mengerti apa itu cinta, bagaimana rasanya, menurutku diriku terlalu dini untuk mengenal cinta. Dikatakan dengan lawan jenis, aku pun begitu Sarah Ahmad At-Tamimi wanita yang selalu bersamaku ke mana pun sejak kami mulai mengenal apa itu angka dan huruf di jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak.

Persahabatan kami makin erat di saat kami selalu satu kelas saat menduduki bangku sekolah dasar bahkan selalu duduk berdampingan. Sarah lahir dari keluarga terpandang dan kaya raya, yang kutahu ayahnya termasuk keturunan dari pemilik tambang minyak di timur tengah. Hingga Seluruh biaya sekolahku di tanggung olehnya. Ahmad At-Tamimi, atau biasa disebut dengan sebutan Papa dari masa itu, dan begitu pula dengan istrinya aku sebut dengan Mama, Dewi Ahmad adalah sahabat terbaik ibuku dari masa sekolah dan sekarang giliran aku yang meneruskan pertemanan mereka.

Sarah adalah gadis cantik keturunan Timur tengah dan Indonesia tapi lebih dominan ke ayahnya. Dia selalu mengikuti ke mana pun aku pergi hingga aku yang sempat risi dengan semua itu pergi menjauhinya di saat aku berada di kelas 5 SD, tapi itu berakibat membuat Sarah kecelakaan karena dia tidak dapat menyeberang jalan, membuatku sangat menyesal.  Yang biasanya akulah yang selalu melindungi nya dari para teman laki-laki yang selalu menggodanya di kelas, hingga tidak ada lagi yang berani mendekatinya, bahkan dia juga hanya memiliki sedikit teman perempuan yang tak jarang hanya akan memanfaatkan Sarah agar dapat lebih dekat denganku.

Di saat libur panjang kenaikan jenjang, aku berlibur di rumah kakak kedua ku, namanya Nadila atau biasa kumemanggilnya dengan kak Dilla, beliau tinggal di Jakarta mengikuti suaminya yang bekerja sebagai pengajar di ibukota kota. Di saat itulah aku bertemu dengannya Adinda Nurul Alyaa, gadis kecil berusia lima tahun, pemilik rambut lurus sebahu lagi berponi juga kulit putih kemerahan, dan berpipi chubby. Sosok yang selalu ku jahili semasa dulu, membuatnya menangis adalah tujuan utamaku, karena aku sangat gemas dengan dirinya. Pertemuan satu bulan itu adalah momen terbahagiaku kala itu, dapat merasakan hidupku seakan lengkap dengan kehadiran seperti sosok adik perempuan yang sangat ku nanti.

Hingga tepat satu hari sebelum aku kembali pulang, suatu bencana alam terjadi, di depan mataku tubuh kecilnya tertindih almari yang berisi buku-buku tebal, karena aku yang terlambat membuka pintu utama rumahnya. Tubuh bergelimpangan darah itu langsung dibawa ke rumah sakit terdekat, tubuhku menggigil percampuran rasa dingin karena bajuku yang basah akibat air hujan dan rasa cemas yang teramat dalam kepada Adinda yang sudah masuk ruang UGD.

Sejatinya aku sangat mencintainya, mungkin dulu caraku salah, tapi aku tidak ingin kehilangannya. Hingga aku berjanji jika dia kembali sadar aku akan menjadi orang yang selalu melindunginya dan akan menerima segala kekurangannya, karena aku dengar percakapan dokter dengan ayah Romi, ayah Dinda yang menyatakan bahwa kemungkinan hidupnya sangat sedikit dan jika sadar Dinda akan mengalami kecacatan entah fisik maupun mental. Membuatku meremas kuat pergelangan tanganku yang sudah terbalut kain kasa. Aku terus menyalahkan diriku, Saat itu aku seakan lupa dengan apa yang selama ini bapak kandungku ajari bahwa segala sesuatu sudah ada garis-Nya dan akan terus berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya.

Karena tiket sudah dipesan tidak memungkinkan untuk dibatalkan, aku harus tetap pulang masih dengan rasa khawatir dan amat bersalah menyelimuti tubuhku, saat itu kejiwaanku sedikit terganggu aku menjadi sosok yang pendiam dan cenderung cuek dengan sekitar dan lebih cepat marah. Lagi-lagi hanya Sarah yang mau berteman dengan seorang temperamen seperti diriku. Hanya dia yang mengetahui alasan dibalik semua sikapku. Tapi cukup, aku tak mau menganggapnya lebih dari sekedar sahabat dan teman curhat karena aku masih trauma jika harus di tinggal orang yang kusayang.

Garis Takdir Adinda (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang