S1. - 02. Rasa Nyaman

4.3K 397 14
                                    

“Ada 3 hal yang seriusnya serius, dan bercandanya dianggap serius,  yaitu : nikah, cerai, dan rujuk”.

(HR. Abu Dawud,  Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

~~~


"Video? Video apa?" Tanyaku sambil menatapnya heran.

"Lihat saja sendiri, nanti kamu juga akan paham," ujarnya sembari menjalankan mesin mobil.

Aku kemudian menekan tombol play dan mulai menonton isi video tersebut yang teramat membuatku penasaran dan mungkin ini akan menjadi jawaban siapa dia sebenarnya?

Baru satu detik pertama, mataku membulat sempurna yang membuat tubuhku melemas dan kaku seketika. Ketika melihat seseorang yang sama persis dengan sosok di sampingku ini sedang menggenggam tangan ayahku.

Mulutku bungkam ada rasa sesak yang mulai menyerang menusuk dadaku, ketika para saksi itu mengungkapkan kata ‘SAH’ bersamaan. hingga hannyalah air mata yang dapat berbicara, perlahan tapi pasti dua keluar dari ujung mataku tanpa perintah, hingga terasa selembar kain penutup wajahku mulai terasa panas dingin di buatnya.

Siapa sangka pria dingin yang sedari tadi ribut denganku telah mengucapkan kalimat ijab kabul dengan ayahku? Haruskah aku percaya? Apakah ini nyata atau sekedar rekayasa? Mataku mulai tertutup, sesekali suara terisak-isak keluar dari kedua bibirku. Apa yang sekarang harus kurasakan ? Kebahagiaan atau kesedihan? Tapi bukankah dalam Islam ada 3 hal yang tidak bisa dijadikan bahan candaan yaitu ‘ucapan ijab kabul, kata talak dan kata rujuk?’

Dan mengapa tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut pria ini sekarang? Bahkan walau hanya ucapan maaf sekalipun. Tak merasa bersalahkah dia yang telah menikahi seorang gadis tanpa restu langsung dari dirinya? Sungguh aku hanya butuh kejelasan.

Perlahan mataku terbuka, tapi tidak untuk menatapnya melainkan memperhatikan pemandangan indah dari sisi jalanan panjang penuh kelokan. Sedangkan mulutku masih memilih untuk bungkam, ingin rasanya berteriak, tapi untuk apa? Bahkan menangis pun tidak akan menyelesaikan masalah.
hanya keheningan yang terjadi sepanjang jalan hingga suara dering  ponsel miliknya berbunyi memecahkan keheningan. Di sana tertulis

*Bunda*

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku menjulurkan tanganku sembari memberikan ponsel itu kepada pemiliknya.

"Siapa?" Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya? Kemudian Aku menunjukkan layar itu ke hadapannya.

"Itu nomor bunda kamu, kamu angkat saja!" serunya, dan kembali menatap jalan. Aku tidak menggubris perkataannya hanya geleng-geleng kepala pertanda aku tidak mau berbicara.

Karena merasa tak mendapatkan respons dariku, dia kemudian menggeser tombol hijau dan memencet tombol speaker.

"Assalamualaikum Bun," siapanya ramah, ternyata pria ini bisa ramah pula, pikirku.

"Waalaikumsalam, Dinda sudah bersama kamu?"

"Sudah kok Bun, ini sudah di jalan pulang."

"Apa Bunda bisa bicara dengannya?"
Dia melihat ke arahku, spontan aku menggeleng hebat, pertanda aku sedang tidak ingin bicara.

"Em.. dia lagi tidur Bun." Bohongnya dan kembali menatap jalan.

"Bunda titip Dinda ya, tolong jaga dirinya baik-baik." Pesan bunda yang dapat kudengar.

"Iya insya Allah pasti Bun."

"Ya sudah, Assalamualaikum hati-hati di jalan."

"Iya Bun, Waalaikumsalam."

Garis Takdir Adinda (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang