Walaupun celamu berusaha membuat diri ini terluka, tapi hati ini terus bertahan seakan menahan luka.
***
Setiap hari libur, Feo selalu melakukan eksperimen di dapur. Karena Feo bercita-cita menjadi koki, gadis itu selalu meluangkan waktunya untuk memasak hal-hal baru. Bi Shelli tidak membantu. Wanita paruh baya itu selalu mencicipi makanan yang Feo buat. Terkadang, Feo bisa memasak makanan yang begitu lezat. Tapi sekarang, Bi Shelli mungkin ragu karena Feo memasak dengan bahan yang berbeda.
"Bi Shelli nggak usah gitu banget mukanya," ujar Feo seraya memasukkan adonan yang sudah di cetak ke dalam oven.
"Bibi tiba-tiba sakit perut deh Non, lagian tadi udah makan nambah sampe 10 kali," ujar Bi Shelli lebay. Bagaimana mungkin dirinya nanti akan memakan kue lidah buaya ala Feo?
Membayangkan saja, sepertinya Bi Shelli tidak sanggup.
"Santai aja Bi, cuman sesuap nggak masalah kok," kekeh Feo tau benar apa yang Bi Shelli khawatirkan. Feo jamin, masakannya kali ini akan berhasil. Kue lidah buaya ala Feo akan terkenal di masa depan.
Bi Shelli hanya mengangguk pasrah. Hidupnya sebentar lagi akan ditentukan karena kue warna hijau itu. Tampilannya sih menarik. Tapi jika tau kue itu terbuat dari lidah buaya, orang lain pasti akan berpikir dua kali untuk memakannya.
"Bi Shelli kali ini harus jujur sama rasanya nanti. Soalnya besok, mau Feo kasih sama calon suami Feo Bi," ujar Feo bangga. Bi Shelli hanya mengangguk pasrah lagi. Urusan rasa belakangan yang paling penting nyawanya harus terselamatkan dulu.
"Non, tadi dr. Elis nelpon nanya kenapa Non Feo nggak pernah kecap lagi," ucap Bi Shelli teringat sesuatu.
"Check up Bi, bukan kecap," kekeh Feo. "Lagian untuk saat ini, Feo jarang kambuh Bi. Feo lagi nggak butuh obatnya dr. Elis," jawab Feo santai.
"Non Feo udah sembuh?" tanya Bi Shelli antusias. Bi Shelli memang sosok ibu pengganti bagi Feo. Wanita itu juga yang selalu menemani Feo saat bertemu dengan dr. Elis.
Feo mengangguk berharap sakitnya tidak kambuh lagi. Feo benci dengan obat-obatan yang selalu dirinya minum di malam hari. Gadis itu ingin menyudahinya dengan segera.
"Kalau Non Feo nggak banyak pikiran, Bibi jamin Non Feo bakal cepet sembuh," ucap Bi Shelli membuat Feo terharu. Untuk saat-saat seperti itu, Feo sungguh berharap mamanya ada disampingnya. Namun sayang, orang tuanya bahkan tidak ada yang tau tentang penyakit Feo. Mereka terlalu sibuk mengurusi bisnis dan anak pertama mereka, hingga melupakan keberadaan Feo.
"Udah dibilangin juga malah ngelamun sih Non, jangan mikir yang berat-berat," ujar Bi Shelli khawatir. Feo mengangguk pelan seraya tersenyum tipis.
"Udah mateng Bi," ujar Feo antusias. Mendengar ucapan Feo, jantung Bi Shelli kembali berdebar-debar. Feo langsung mengeluarkan kue buatannya dari oven. Bi Shelli memandang kue itu ngeri. Semoga saja, Tuhan masih memberinya umur panjang.
"Ayo Bi dicicipin," minta Feo semangat. Bi Shelli memotong kue itu kecil. Perasaannya sungguh tidak enak. Apa mungkin ajal akan segera datang menjemputnya? Dengan ragu, Bi Shelli menyuapkan potongan kue itu ke dalam mulutnya. Dikunyahnya sepelan mungkin, agar dia bisa menikmati waktu-waktu terakhirnya. Kue buatan Feo tidak buruk. Bahkan rasanya tidak seperti lidah buaya.
"Gimana Bi?" tanya Feo begitu penasaran. Seperti biasa, Bi Shelli mengangkat kedua jempol tangannya.
"So prefet," ucap Bi Shelli dengan senyum mengembang karena dirinya masih hidup sampai detik ini.
Feo tertawa dengan apa yang Bi Shelli ucapkan. "Perfect Bi," koreksi Feo akhirnya.
Bi Shelli mengangguk-angguk. "Nah itu maksud Bibi Non, rasa kuenya lembut dimulut. Kirain Bibi bakal pahit rasanya, eh ternyata enggak," ucap Bi Shelli bak chef yang sedang mengomentari masakan Feo.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVISOR
Fiksi Remaja"LEPASIN!" "Nggak akan! Apa yang udah jadi milik gue, nggak akan pernah gue lepas Fe." Galen menjawab dengan penuh penekanan. "Ayo pulang!" Wajah Galen mendekat dengan tatapannya yang menakutkan. Napasnya naik turun seolah sedangmeredam emosi yang...