A/n : Pagi gaissss hehehehehe
***
Udah dua hari ini, Moza hanya diam di kamar orang tuanya. Dia gak beranjak dari kasur sama sekali. Selain karena sakit, Moza takut ketemu sama Kak Strau dan gak mau balik ke kamarnya. Dia benar-benar ngerasa bersalah.
Sejak kemarin sore, Kak Strau pergi menginap di rumah saudaranya. Kamar mereka kosong, gak ada yang nempatin. Moza belum tahu Kak Strau pergi ke rumah Faurin.
"Dek, udah dong, jangan sedih terus, ya?" kata Mama Irene yang sekarang menghampiri anak bungsunya yang lagi-lagi menangis di balik selimut. Kelopak mata Moza bengkak dan sakit karena kebanyakan menangis.
Sejak dua hari lalu, dia gak pernah lagi pegang ponsel. Mama Irene yang pantau ponselnya buat lihat apa orang yang nipu itu balas pesan anaknya atau gak. Tapi ternyata belum ada tanda-tanda apa pun.
"Maafin Moza, Ma," lirih Moza yang buat sang mama mengusap lengan anak itu yang terbalut selimut.
"Udah mama bilang berapa kali? Jangan banyak pikiran dulu, gak inget kata dokter apa?"
Moza mengelap airmatanya lagi. "Kakak masih marah sama Moza, ya?" tanyanya yang malah bicara hal lain. "Kenapa kakak gak pernah ke sini?"
"Kakak cuma butuh waktu aja sebentar. Nanti juga baik lagi."
"Bilang kakak ya, Ma, Moza minta maaf."
Mama Irene gak jawab apa-apalagi. Dari kemarin, udah terlalu sering Moza bilang maaf, selalu dia ulang. Minta maaf ke Mama Irene, ke papa, ke Kak Strau. Mama Irene kasian banget liat kondisi si bungsu. Moza ini tipe anak yang kalau ditimpa masalah besar, dia bakalan sedih banget dan lebih banyak mikirin hal-hal negatif dibanding positif. Berimbas ke imunitas tubuhnya yang cepat drop dan butuh berhari-hari buat sembuh. Maka dari itu Mama Irene gak pernah marah berlebihan, karena begini. Moza gak bisa mengatur emosi dengan baik, gak kaya Strau. Ya, walau sekarang Mama Irene pun tahu kalau Strau juga bisa marah besar sewaktu-waktu.
Mama Irene yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini membaringkan tubuh di sebelah sang anak dan memeluk Moza. "Untuk masalah pre-order itu biar jadi urusan mama dan papa, kamu gak usah mikirin apa-apa."
"Tapi ini salah Moza," ucap anak itu yang menatap mama dengan matanya yang menyipit karena bengkak.
"Ini namanya musibah, Dek, gak ada yang tahu juga kan kalau bakalan begini jadinya?"
Moza menelan ludah.
"Terus nanti ulang tahun Kak Strau gimana, Ma?"
"Nanti mama sama papa pikirkan cara lain."
"Maaf ya, Ma. Gara-gara Moza, rencana kalian buat bikin acara berantakan. Moza janji gak akan nulis lagi, Ma. Moza mau nurut sama mama, sama Kak Strau juga," lirihnya. "Moza mau belajar aja biar pinter kaya Kak Strau, biar bisa banggain mama sama papa. Moza gak mau mimpi jadi penulis lagi, Moza benci nulis novel, Ma."
***
"Malam, Tante," ucap laki-laki bertubuh kurus dan jangkung yang malam ini datang ke rumah Moza.
"Malam, Andra. Akhirnya kamu datang juga, yuk masuk!"
Ya, Mama Irene mencari cara agar Moza gak sedih lagi dengan cara menghadirkan Andra. Moza pernah bilang ke Mama Irene kalau dia suka curhat sama Andra, jadi siapa tahu Andra bisa bantu supaya Moza sedikit lebih tenang.
Tadi pagi, Mama Irene menghubungi Andra setelah mendapat nomornya di kontak ponsel Moza. Dia menanyakan apakah Andra bisa datang ke rumah atau gak, dan Andra bilang bisa. Tapi malam. Karena pagi sampai sore ada jadwal mengajar anak-anak di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mozarella Cheese✔
JugendliteraturMozarella Cheese yang ini beda dari Mozarella Cheese yang lain. Mama Irene bilang, Mozarella Cheese ini limited edition, cuma ada satu.