34. Kilas Kejadian

662 35 3
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

-•o•-

Matahari tampak bersinar menerangi bumi, burung-burung berkicau ria menunjukkan perasaan bahagia

Mereka semua bebas, matahari pun seperti sedang tersenyum bahagia dengan kondisi yang ada

Namun semua itu tak berlaku bagi Zahra, ia duduk termenung di tangga masjid sekolahnya yang lumayan sepi

Hiruk pikuk siswa-siswi SMA Prima Bangsa tak berlaku di sisi sekolah yang sering Zahra kunjungi tersebut

Terkadang Zahra berfikir, apa guna masjif jika sudah seperti ini. Masjid sekolah Zahra memang sangat terawat, namun tak banyak siswa ataupun siswi yang memanfaatkannya

Padahal hawa di rumah Allah tersebut sangatlah nyaman, sangat sejuk tanpa pendingin ruangan

Bahkan jika diperhatikan, arsitektur bangunan berwarna putih itu sangat megah

Sayang namun sayang, ya sesuai dengan kenyataan bahwa penggunanya sangatlah sedikit dan bahkan bisa dihitung dengan jari

Karena sepi itu lah belakangan ini Zahra sering menghabiskan waktu istirahatnya di rumah Allah itu sembari bersimpuh di hadapan sang khalik

Bagaimana nasib hubungannya dengan Kafka? Apa memang harus berakhir tragis seperti ini?

Setelah pertengkaran hebat kemarin, Kafka tak terlihat menginjakkan kakinya di rumah yang ia bangun dengan kerja kerasnya sendiri, ralat, pekerjaan Kafka tak terlalu keras, berbeda saat awal dirinya merintis dan mengembangkan usaha almarhum ayahnya dulu

Sampai saat ini Zahra masih bertanya-tanya, sebenarnya apa salahnya pada Kafka? Zahra masih bingung mengapa laki-laki itu menyebutnya wanita murahan? Mengapa Kafka mengira bahwa dirinya tak suka akan kehadiran Irene?

Wajar saja jika Kafka merasa sangat terpukul karena kehilangan sosok perempuan yang sangat ia cintai, tapi mengatakan bahwa Zahra murahan itu sangatlah tak wajar

"Yah, si markonah gue cariin kesana-kemari ternyata ada di sini, lo solat dzuhur aja alama banget sih?!" Lengkingan suara tersebut hanya membuat Zahra menghela nafas pasrah, sebenarnya ia belum sanggup bertemu banyak orang, apalagi Raya yang bisa membawanya untuk mengingat Irene

"Kenapa diam di sini sih?" Raya ikut duduk di tangga masjid

"Kamu nggak sholat?" Raya menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu, ia mengeluarkan cengiran di sudut bibirnya "Hehe, lo dulu aja lah"

Zahra menghela nafasnya "Aku udah sholat" tukasnya polos

"O iya, lo ngapain diam di sini?"

"Emang nggak boleh ya?"

"Ya... Boleh-boleh aja sih. Btw, di sini hawanya enak juga ya, adem" ujar Raya yang tengah menikmati semilir angin yang menyapu permukaan wajahnya

Zahra mengangguk setuju "Iya, enak banget, apalagi kalo muka kita masih basah sama air wudhu. Rasanya itu masyaallah"

"Mulai lagi kan" gumam Raya

"Soal Irene.." Lirih Raya, Raya merasa bahwa perubahan sikap pada Zahra terjadi karena gadis itu terpukul atas kepergian Irene "Gue nggak pernah nyangka kalo dia bakal pergi secepat ini "Untuk pertama kalinya Zahra melihat air mata tumpah di pipi gadis tomboy yang merupakan sahabatnya itu

"Ray.."

"Gue sahabatan sama Irene udah dari SMP, janji sehidup semati bakal terus sahabatan lah, main barengan terus lah, bahkan konyolnya kita bikin perjanjian nggak boleh pacaran, tapi ternyata gue nggak tega ngelihat Kafka yang tiap hari datang nyamperin si Irene dan nggak mungkin kan gue ngekang mereka"

THE MUBRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang