49. Kata-kata Kakak Ipar

1.9K 87 30
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

-•o•-

"Assalamualaikum pak bos" Suara itu kini memenuhi seluruh isi ruangan Kafka.

Kafka yang tengah berkutat di depan komputernya langsung menoleh dan mendapati sosok Nayla yang berdiri di ambang pintu dengan membawa sebuah box yang ia tau apa isinya. Bahkan Kafka hafal betul dengan box itu.

Tidak, Kafka sedang malas memikirkannya, moodnya kurang baik untuk membahas hal tersebut.

"Waalaikum" Jawabnya lalu ia kembali sibuk berkutat dengan komputer yang bahkan sudah seperti kekasihnya sendiri.

"Kok balasnya cuma setengah sih pak?" Helaan terdengar jelas keluar dari mulut Kafka, moodnya benar benar jelek hari ini, rasanya ia sangat malas mengurus apapun yang terjadi.

"Lo punya handphone kan?" Nayla mengangguk-anggukkan kepalanya "Wi-Fi Kantor lancar kok, lo bisa cari sendiri penyebabnya"

Nayla melongo, bukan itu jawaban yang ia inginkan "Bapak kenapa? ada masalah?"

Kafka tak menggubris pertanyaan itu "Saya bawa kue buatan mba Zahra ini pak, saya sudah rela hujan-hujanan loh pak, masa bapak nggak mau?" Tawar Nayla

"Gue nggak minta lo buat beli kan?" Nayla tercekat, baru kali ini ia mendengar pernyataan seperti ini dari atasannya itu. Biasanya Kafka akan sangat bahagia menerima kue dari toko Zahra, namun lihatlah, hari ini laki-laki berkepala dua itu malah berbicara seakan akan tak membutuhkan kue yang dibelinya lagi.

"Bapak kenapa?" Tanyanya berhati-hati takut jika atasannya itu akan murka.

Kafka menggeleng, ia sadar bahwa dirinya tak boleh bertindak kasar lagi, ia harus menghilangkan sifat tempramennya itu.

"Lo makan saja kuenya, gue nggak butuh"

"Tapi biasanya kan pak-"

"Kalo elo nggak mau kasih saja ke karyawan lain"

Dengan dirundung perasaan bingung Nayla keluar dari ruangan Kafka, ia sangat tak mengerti dengan reaksi yang diberi oleh bosnya itu.

Sementara itu Kafka yang masih duduk di kursi kebesarannya itu hanya bisa mengacak rambutnya Frustasi, siapa yang tidak akan dibuat frustasi dengan masalah rumah tangga yang bahkan belum terselesaikan selama dua tahun?

Tak lama ponsel Kafka berbunyi, di sana terpampang jelas nama dari sang penelpon 'Leo'

Kafka sangat mengerti apa tujuan Leo menelfonnya, pasti karena Zahra, jika bukan karena itu, lalu apa lagi? Kafka selalu merasa bahwa kehadiran Zahra hanya membuat dirinya dan Leo semakin renggang.

Yang dilakukan Kafka saat ini hanyalah mengabaikan panggilan itu, ia malas mengadu otaknya dengan isi hatinya lagi.

Kini sudah ada sembilan panggilan yang tidak ia pedulikan, namun hati kafka terenyuh saat panggilan ke sepuluh, akhrinya otaknya bisa berpikir jernih, ia tak bisa terus-terusan lari dari keadaan sepetri ini.

Jika ia terus menolak dan lari dari keadaan, maka semua ini tak akan pernah terselesaikan.

"Halo"

"..."

***

Saat ini Kafka tengah berjalan memasuki sebuah cafe yang berkonsep scandinavian, kakinya terus melangkah hingga matanya bertemu dengan sosok laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil.

"Gue nggak bisa lama-lama di sini. Lo mau ngomong apa?"

"Duduk dulu"

Kafka mengangkat tangan kirinya, matanya melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan "Gue nggak punya banyak waktu"

"Kali ini, ini terakhir kalinya gue minta lo dengerin gue, seterusnya terserah lo"

Dengan penuh keterpaksaan akhirnya Kafka mau duduk di hadapan Leo.

"Sorry"

Kafka mengeluarkan senyum remehnya, semudah itu Leo mengucap maaf padanya?

"Sorry gue sudah bohongin lo selama ini"

Kafka kembali mendecih "Lo nggak ngerasa bersalah?" Pertanyaan itu membuat ekspresi Kafka jadi berubah seratus delapan puluh derajat.

"Ya kan ini gue minta maaf sama lo. Gue memang salah Kaf, gue bohong sama lo, gue nggak kasih tau lo soal semua ini, dan gue bawa Zahra pergi begitu saja" Leo memberi jeda sejenak pada kalimatnya.

"Tapi lo ngerasa bersalah nggak sih, atas apa yang lo lakuin ke Zahra selama ini. Gue nggak mau meninggi, apalagi sampe pojokin lo, gue cuma mau tau apa yang lo fikirin sejauh ini tentang Zahra, dia adek gue Kaf, gue mau yang terbaik buat dia, cukup dia ngilang selama tujuh belas tahun saja, gue nggak mau dia juga ngerasa kehilangan sesuatu"

"Gue, papa, mama, sayang banget sama dia, kepulangan dia udah kami tunggu tunggu dari dulu, dia selalu jadi pengisi setiap doa yang di lontarin sama nyokap gue"

"Walaupun gue kepisah selama ini, dia tetap adik yang dulu sering nangis di hadapan gue, ya gue tau waktu itu masih terlalu kecil untuk ngingatnya, tapi lo nggak akan pernah tau bagaimana rasa sayang seorang kakak ke adiknya"

"Sorry, gue nggak bermaksud nyinggung lo, tapi gue mau yang terbaik buat dia"

Kafka terdiam, apa yang dikatakan oleh Leomemang ada benarnya, ia juga sudah berbuat kasar pada Zahra, melakukan apa yang ia mau seenaknya tanpa memikirkan perasaan gadis itu.

Namun tetap saja, ia paling tidak suka di bohongi. Bahkan sejahat-jahatnya Kafka, ia tak pernah melakukan kebohongan pada orang lain. Satu kebohongan tentu akan menhancurkan perasaan dan rasa percayanya. Apalagi kebohongan yang dilakukan oleh sahabat dan istrinya itu sangat besar.

"Kalo mau marah jangan jadiin Zahra tempat pelampiasan kemarahan lo itu. Jangan salahin dia, dia nggak salah, gue yang nyuruh dia buat sembunyi dari lo, gue yang nyuruh dia buat lupain lo. Tapi gue rasa gue udah keterlaluan, dan menurut gue cuma kemarin kesempatan gue buat kasih tau lo"

Kafka masih terdiam, otaknya mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut leo.

"Kenapa? kenapa lo suruh Zahra ngehindar dari gue?"

Leo menghembuskan nafasnya "Gue nggak mau Zahra ngerasa sakit. Lo nggak tau kan? selama ini Zahra selalu mendam rasa sakitnya. Gue tau jelas gimana waktu dia ngelihat lo sama mendiang Irene pacaran di depan dia"

"Yang lo lihat cuma wajah polos tanpa rasa sakit, tapi dia rapuh"

"Dia nggak cinta sama gue, untuk apa ngerasa rapuh?"

"Elo bodoh apa gimana sih?" Leo menjeda sejenak "Islam mengajarkan kalo seorang istri itu harus berbakti. Sejak lo ijab kabul atas namanya dia, dia udah janji sama Allah bakal nerima lo apa adanya dan bakal mencintai elo atas nama Allah. Itu kewajibannya Kaf, walaupun susah bagi dia buat nerima lo, tetep aja, nggak ada seorang istri yang rela suaminya sama perempuan lain, apalagi nggak ada ikatan yang sah di antara lo sama Irene"

"Lo udah belajar agama kan? pastinya lo tau lah"

"Kenapa lo nggak kasih tau gue kalo elo kakaknya Zahra?"

"Lo yang bikin gue ngelakuin itu, gue mau tau apa yang lo lakuin waktu istri lo dibawa sama cowok lain. Gue mau lo ngerasain apa yang dirasain Zahra selama ini"











Assalamualaikum...

Akhirnya setelah satu bulan lebih aku nggak publish part baru, mohon maaf nih bagi yang nunggu

Jadi aku tu banyak tugas sekolah gitu, karena harusnya aku boarding school gitu, jadi kalian bayangin dah tu jadwalnya berlaku seharian
Ya nggak seharian juga sih, tapi kan setiap jeda yang ada harus ku manfaatin dengan baik tuh
Lah, emang minggu nggak libur?
Ya emang minggu libur, cuma hari itu aku pake buat mindahin catatan, jalanin hobi, nonton film, youtube, yah pokokknya me time lah

oke, doain aja next part bisa cepet :D

Wassalamualaikum...

*Btw ni part ga panjang ya :v

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE MUBRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang