41. Memang Adik dan Kakak

712 44 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

-•o•-

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka.”
QS. An-Nur: 31-












Suasana saat ini bisa di katakan sangat canggung bagi sepasang manusia yang tengah duduk berhadapan itu. Padahal kondisi tempat itu sedang sangat ramai.

Mereka tak hanya berdua, sepasang mata yang ada di samping keduanya tampak memperhatikan mereka "Kenapa diem-dieman gini ya?"

Zahra tersadar, ia jadi bingung harus berbuat apa. Semua yang terjadi saat ini berada di luar fikirannya. Pertemuan ini benar-benar membuatnya diiringi rasa kalut.

Kafka yang berada di hadapan Zahra menghembuskan nafasnya. Sejujurnya ia juga bingung, mengapa mendadak ia jadi tak tau hendak berbicara apa. Kafka adalah sosok yang di kenal oleh banyak orang sebagai seseorang yang pandai berbicara, lalu kenapa hari ini? Bahkan ia pun tak mengerti dengan dirinya sendiri.

"Kue buatan lo enak" Zahra mendongak. Zahra fikir dengan posisi Kafka yang merupakan seorang pemegang saham terbesar itu bisa merubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. Namun nyatanya semua itu tak terjadi, Kafka yang sekarang tetaplah Kafka yang dulu.

"Makasih pak"

"Gue setua itu?" Nayla terbelalak, apa maksud omongan Kafka? Bukankah biasanya dirinya memanggil Kafka dengan embel-embel 'Pak'? Lalu mengap Kafka bertanya seperti itu pada Zahra, padahal yang seharusnya ditanya adalah Nayla karena usianya berada jauh di atas Kafka.

Zahra juga merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Nayla. Ia juga jadi bingung, mengapa Kafka bertanya seperti itu? Apa Kafka mengenalinya?

"Cuma orang dungu yang enggak ngenalin lo"

Zahra sangat mengingat perkataan Raya. Hanya orang dungu yang tak bisa mengenalinya. Zahra punya mata yang khas, apa mungkin laki-laki di depannya itu tak mengenali dirinya?

Dungu? Apa itu yang harus Zahra lontarkan pada Kafka? Ah, sudahlah. Intinya Zahra selalu merasa ada gelayar aneh yang menjalar di tubuhnya saat ini. Kafka membuatnya jadi gugup.

"Maaf, saya harus panggil apa kalo gitu?"

Kafka tampak berfikir "Apa ya?" Netra Kafka memandang ke sembarang tempat "Ya udah lah 'pak' aja" putusnya. Ia juga tak tau harus di panggil apa. Yang jelas ia kurang nyaman saat wanita di depannya itu memanggilnya dengan sebutan 'Pak'.

"O iya pak, saya belum kenalin. Jadi nama dia Zahra pak, orang yang bikin bapak jatuh cinta sama kue buatannya" pungkas Nayla, tak lupa dengan senyuman yang selalu terukir di wajahnya.

Gerakan tangan Kafka yang sedang memutar-mutar sendok dengan jarinya jadi terhenti.

Zahra. Nama itu membuatnya jadi bungkam. Jantungnya serasa berhenti untuk berdetak. Apa yang terjadi kali ini? Mengapa ia harus mengingat lagi sosok wanita itu?

Tidak, bukan mengingat lagi, tapi 'menambah' ingatannya.

"Jadi nama lo Zahra?"

Zahra hendak menangis saat ini. Ia merasa sangat miris saat Kafka bertanya demikian. Apa laki-laki itu sama sekali tak mengingatnya? Apa berarti hubungannya sudah berakhir?

THE MUBRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang