17. Leo dengan Kafka

693 46 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

-•o•-

“Seseorang itu tergantung pada agama sahabatnya, maka perhatikanlah salah seorang dari kamu kepada siapa dia bersahabat.” 
HR Abu Daud-


























Pagi ini, Kafka bangun lebih awal. Waktu baru menunjukkan pukul 05.42

Biasanya laki-laki itu  bangun pukul enam lewat, bahkan bisa bangun pukul tujuh pagi. Entah apa yang terjadi pagi ini, yang jelas, ia tidur kurang nyenyak

Kafka dapat melihat jelas bahwa Zahra tengah berkutat dengan bumbu dapur. Bawang merah ia potong dengan sangat lincah. Ia sudah biasa melakukan hal kecil itu

Zahra menyeka air mata di tengah kegiatannya itu. Kafka yang melihatnya mengernyit dari kejauhan. Apa gadis itu menangis karena bawang? Tidak, hal itu tidaklah mungkin

Zahra sudah kebal jika hanya memotong bawang merah. Lalu kenapa pagi ini gadis itu menangis?

Kafka langsung membalikan badan saat Zahra memutar pandangan ke arahnya "Tumben udah bangun?" Tanyanya saat melihat gerak-gerik Kafka yang aneh itu

Kafka menoleh. Ia masih merasa kesal pada Zahra karena omongan gadis itu semalam. Kafka masih bertanya-tanya, apa gadis itu tak merasa bersalah sama sekali?

Jika di fikir-fikir, padahal Kafka bisa langsung menjatuhkan talak pada gadis itu. Perceraian mereka tidak akan rumit karena mereka baru menikah di mata agama saja, belum di mata hukum

Kafka belum punya niatan untuk membawa pernikahannya pada hukum. Ia belum siap

Merasa Kafka mengacuhkannya, Zahra kembali membuka suara "Soal tadi malam, maaf. Aku cuma mau kamu bahagia sama Irene, aku nggak mau bikin kalian hancur, biarpun aku tau kalo pacaran itu di larang agama. Kalo kamu serius, kamu bisa langsung nikahin dia. Jangan bikin diri kamu sendiri terjerembab dalam dosa. Kamu bisa talak aku kok" ujar Zahra pasrah

Sebenarnya gadis itu juga tak tau hendak kemana saat Kafka menalaknya nanti. Yang jelas, ia belum siap jika harus kembali kerumahnya yang menyimpan luka itu

Cukup! Sudah dijelaskan bahwa Kafka benci dengan kalimat itu. Ia tak suka perceraian. Satu kata itu telah membuat hidupnya berantakan

Sejahat-jahatnya dirinya, ia masih punya hati. Kemana perginya Zahra nanti saat ia ceraikan. Ia tak akan membiarkan gadis itu menjadi gembel di jalanan

"Lo bisa diem nggak!" Pekik Kafka. Atmosfer di apartemennya mendadak berubah jadi mencekam saat ini

"Tapi, semua ini salah Kaf, aku nggak mau kamu dosa karena situasi ini. Aku nggak mau bikin kamu kena siksa neraka karena kamu terikat sama aku" isak Zahra. Ah sial, gadis itu meneteskan air matanya. Kafka benci air mata wanita. Ia tak suka itu, tapi anehnya ia selalu menyakiti Zahra

"Lo suka ya, kalo gue bentak?" Kali ini nada suara Kafka turun satu oktaf

"Aku..."

"Gue nggak mau cerai" pungkasnya

Zahra jadi dibuat bingung di tengah tangisnya itu. Jika Kafka tak mau bercerai, lalu kenapa terus menyakitinya?

"Semua ini demi Irene!" Baru kali ini Zahra meninggikan suaranya, bahkan melebihi tingginya suara Kafka

"Kamu nggak tau apa yang dia alami! Kamu nggak tau apa yang dia sembunyiin selama ini dari kamu. Aku tau, kamu kenal lebih lama sama Irene. Tapi aku perempuan, aku tau gimana rasanya jadi Irene, aku lebih kenal dia daripada kamu! Kamu harus ngertiin dia!"

THE MUBRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang