26. Jadi Pendengar

594 37 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

-•o•-



"Kamu kenapa  pake handuk kayak tadi?"

Dini memutar bola mata malasnya saat mendapati pertanyaan demikian. Ia kesal pada Zahra karena menariknya ke dalam kamar begitu saja

"Salah sendiri lah, di kamar gue nggak ada kamar mandinya, wajar dong gue mandi di sana" Ingin rasanya mencabik-cabik wajah Dini. Dirinya bagai seorang tamu yang tak tau tata krama

Zahra menghela nafasnya, ia bingung bagaimana cara menghadapi sikap saudara tirinya yang sudah kelewat batas itu

"Aku nggak masalah kamu mandi di sana, karena memang kamar ini nggak kamar mandinya. Tapi handuk kamu itu. Din, Kafka itu laki-laki, bukan mahram untuk kamu. Nggak seharusnya kamu nunjukin apa yang seharusnya nggak kamu tunjukin. Ya, aku ngerti kamu udah biasa begitu di rumah, tapi kan ini tempat Kafka, nggak enak kalo kita bikin dia kesal kayak tadi" ujar Zahra, ia masih sama, masih dengan nada bicara lembutnya

Dini kembali membuang lirikan matanya ke lain arah, ia berdecak malas "Zahra yang baik, Kafka itu suami lo, otomatis gue jadi keluarganya kan? Keluarga Ra, Keluarga" Tekan Dini "Nggak masalah kan kalo gue anggap ini rumah sendiri. Kafka juga nggak pernah ngasih aturan ini itu kan? Jadi ya santai aja lah"

"Nggak bisa gitu, aku tau Kafka suami aku. Aku juga tau otomatis kamu jadi keluarga Kafka. Tapi kamu harus tetap tau batasan. Semalam aku maklumin waktu kamu pakai baju sependek itu, tapi untuk sekarang, itu udah terlalu kelewatan Din. Kamu nggak lihat, Kafka yang teriak-teriak gitu?"

"Kenapa? Kafka kan suami lo. Atau, lo takut dia kegoda sama gue? Secara, gue lebih cantik daripada elo"

Omongan Dini memang benar, jika di perhatikan, wajah Dini terlihat lebih cantik. Zahra tak secantik Dini, ia tak seputih dini, bahkan tubuhnya juga lumayan kurus belakangan ini

Masalah penampilan juga Zahra kalah jauh dari Dini, Gadis itu selalu tampil modis dimanapun sedangkan Zahra hanya bisa berpenampilan apa adanya, hanya saja sekarang pakaian yang digunakan Zahra lebih bagus dan layak ketimbang pakaiannya yang dulu

Zahra tak mau banyak berdebat, baginya, berdebat hanya membuat Dini semakin berontak dan menjadi lebih parah, lebih baik besok ia bicarakan lagi masalah ini dengan baik pada Dini

Zahra kembali ke kamar Kafka, belum, dia belum berani untuk masuk, tangannya masih ragu memegang knop pintu kamar itu, batinnya bertanya-tanya apa yang sedang di lakukan oleh Kafka

Ah, itu bukan hal yang penting, untuk apa ia memikirkan hal itu. Yang terpenting adalah apa yang akan ia lakukan saat masuk ke dalam ruangan luas yang berisikan barang-barang pribadi Kafka itu

Beberapa menit Zahra masih berkutat dengan Fikirannya, apa yang harus ia lakukan? Apa ia langsung tidur? Ataukah dirinya harus melakukan kegiatan lain terlebih dahulu?

Zahra terus menyebut asma Allah. Ia seperti hendak menghadapi iblis jahat, ia takut, masih sangat takut

Akhirnya, keberanian yang ia kumpulkan sejak tadi mendorongnya untuk masuk, rasa kantuk sudah menuntutnya untuk segera tidur walaupun waktu masih menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Wajar Saja, Zahra hampir tak pernah begadang selama hidupnya

Islam mengajarkan kita untuk tidur lebih cepat agar dapat bangun lebih cepat pula, dan itu selalu Zahra terapkan. Lagipula untuk apa ia membuang waktunya hanya untuk hal-hal yang tidak berguna? Apalagi hal itu harus merenggut waktu tidur berkualitasnya, Zahra sangat tak rela hal itu terjadi

THE MUBRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang