46. Kafka's Part

917 46 4
                                    

Jبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

-•o•-


Bodoh, untuk kesekian kalinya Kafka merasa bahwa dirinya sangatlah bodoh.

Memang, bisa-bisanya ia melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan. Bisa-bisanya ia mengulang apa yang pernah ia lakukan dulu.

"Lo tau? Lo itu manusia paling hina yang pernah gue temuin"

Kalimat itu pasti sukses mencabik-cabik perasaan Zahra.

"Lo nggak suka kan, ngelihat gue bahagia?" Zahra menggeleng, air matanya semakin deras.

"Kaf, aku nggak..."

"Diam!" Bentak Kafka, bodoh, ia selalu saja membentak gadis itu

"Lo udah bikin Irene pergi dari gue! Gara-gara lo gue lalai dari tanggung jawab gur buat jagain dia. Karena lo gue kehilangan perempuan yang berharga! Kenapa nggak jujur dari awal kalo lo nggak suka sama dia?!"

"Aku nggak pernah punya fikiran kayak gitu" sela Zahra.

"Diam!" Kali ini bentakan Kafka lebih tinggi dari bentakan yang tadi "Berhenti jadi cewe munafik! Gue nggak habis fikir, cewek modelan kayak lo masih ada di dunia!"

"Gue pernah mikir kalo elo itu beda dari cewek lain yang ada di luaran sana, gue pernah ngira kalo elo itu tulus. Bahkan gue pernah kagum sama lo karena lo nggak pernah dengarin omongan buruk orang lain dan elo bisa sabar ngehadapin semua masalah lo"

"Tapi ternyata gue salah besar, elo sama aja kayak banyak orang di luar sana! Sama sama sampah!"

"Gue kira elo di didik di keluarga yang bener-bener menjaga nama baik, buah emang jatuh nggak jauh dari pohonnya dan harusnya gue percaya sama Dini, kalo lo sama kayak nyokap lo, sama-sama cewek murahan!"

'Plak'

Satu tamparan sukses mendarat di pipi mulus Kafka, Zahra menamparnya.

"Cukup! Terserah kamu hina aku, tapi jangan sekali-kali kamu hina ibu aku!" Sakras Zahra

Kafka mendecih "Sekarang mau sok-sok-an jadi anak baik yang ngebela ibunya?"

"Nyesel gue nolong lo dan terjerat di pernikahan bodoh ini!"

"Arghhh!"

Kafka terus merutuki kebodohannya. Keadaannya benar benar kacau saat ini. Barang barang di kamarnya sudah berserakan di mana-mana. Bahkan pecahan kaca juga memenuhi lantai dan telah melukai tangan serta kakinya.

Ia bersandar di sisi ranjang dengan lemas, ia sudah kehabisan kekuatan karena tadi ia terlalu emosi.

Bagaimana jika Zahra benar-benar sakit hati padanya dan tak kembali lagi ke rumah ini. Seharusnya ia tak mengusir gadis itu.

Lihatlah yang sekarang, Kafka hidup sendirian. Tak ada siapapum yang ada di sisinya. Ia benar-benar kehilangan sosok sahabatnya.

Makan, tidur, melamun. Hanya itu yang menjadi rutinitas Kafka. Bahkan apa yang telah dibangunnya selama ini terancam akan hancur.

'tok tok tok'

Ketukan pintu itu berhasil membuat Kafka tersadar dari lamunannya. Berat rasanya melangkahkan kaki walau hanya untuk membukakan pintu. Namun bagaimana jika itu Zahra atau Leo?

THE MUBRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang