Sebuah mobil melaju dengan cepatnya membelah jalan raya yang di padati oleh mobil-mobil lainnya.
“Li, cerita….,” pinta Saka yang masih setiap fokus pada jalanan di depan.
“Kenapa? Lo mau nemanin gue?” tanya Liana dengan pandangan lurus ke luar jendela.
Saka menghela nafas nya, “Menurut lo?” Saka bertanya balik pada Liana.
Liana melirik, “Gue tau lo mau seolah gak peduli kan, terus kenapa lo peduli Sak?” tanya Liana.
Saka memukul setir nya, “Gue pertegas, kalo lo berpikir gue sekarang ada di sini karena lo, jawabannya salah!” tegas Saka, baginya dunia hanya akan selalu ada Naya dan Naya.
Liana mendecih, “Fokus nyetir aja”
.................
Huekk....
“Bunda….,” panggil Naya. Ya, Saka memaksa Naya untuk tinggal di rumah orang tua nya, katanya sih takut terjadi apa-apa.
“Kenapa Nay?” tanya Nara, yang berlari kecil.
Bruk!
“NAYA!” teriak Nara, Naya tiba-tiba saja terjatuh. Membuat Nara cmas, mengapa akhir-akhir ini Naya sering muntah dan kehilangan kesadaran?
Dengan segera Naya langsung di bawa ke kasur nya, “Nay…” panggil Nara seraya menepuk pelan pipi Naya.
Sudah 2 minggu lamanya, Saka masih belum kembali bahkan tidak ada telpon sama sekali.
Naya mulai membuka mata nya perlahan masih dengan pandangan yang memudar, “Saka?” gumam Naya yang masih belum sadar sepenuhnya, selama 2 minggu terakhir Naya sering bermimpi Saka. Bahkan membuat Naya sampai demam.
Nara menghela nafas, “Sebentar ya Nay” ucap Nara yang berlalu.
“Halo Bun,” ucap pria dari arah sana. Ya, Saka Armad.
“Pulang,” perintah Nara. Dia sedang di hadapkan dengan wanita yang sama-sama lemah. Membuat, Nara tidak ada pilihan lain lagi.
“Gibran nya belum ketemu, Bunda,” jawab Saka, dia meringis ketika melihat kandungan Liana melemah, karena kondisi ibu nya yang stres.
“Itu bisa aja akal-akalan Liana Saka!” tegas Nara, walaupun ia tau bahwa Liana kali ini tidak berbohong.
“Enggak Bun, sebentar lagi Saka pasti pulang. Titip Naya,” ucap Saka, dan langsung saja menutup telpon nya.
Telpon terputus, “Dasar Bodoh!” hina Nara.
“Dimana Saka, Bun?” tanya Naya tidak terasa air mata nya menetes, semakin hari kondisi Naya makin melemah, dan juga semakin tidak baik, tanpa tau apa penyebab nya.
“Nanti sayang, dia katanya mau pulang kok,” jawab Nara mengalihkan pandangan, dia tidak sanggup untuk jujur pada Naya, yang selalu menunggu Saka pulang setiap harinya tanpa bosan.
“Bunda bohong!” timpal Naya, air mata lolos begitu saja. Dia selalu menunggu Saka saat pagi ataupun sore. Berharap Saka akan segera pulang, ia paham kondisi nya melemah. Dan sekarang dia membutuhkan sosok Saka.
“Bunda….,” panggil Naya, dengan suara lirih. Seolah setiap kata itu makin terassa sulit untuk di ucapkan.
“Hmm? Iya sayang?” tanya Nara. Dia tidak tega melihat Naya yang sedang dalam kondisi lemah.
“Naya, mau ke tempat yang jauh,” ucap Naya membuat Nara sukses membulatkan matanya.
Nara membawa Naya ke dalam pelukannya, “Bunda sendiri yang akan bawa kamu ke tempat itu, seandainya Saka gak pulang dalam 1 minggu lagi,” jawab Nara.
Naya terus menangis, “Bukan Bunda, Bunda gak boleh ikut. Mungkin itu di mana nanti tempay Naya beristirahat. Naya sendirian aja,” timpal Naya.
Nara sedikit bingung, apa yang di maksud dari Naya? Mengapa tempat beristirahat?
“Maksud Naya apa? Pulau terpencil?” tanya Nara.
Naya menggelengkan kepala nya kuat, “Nyusul Mamah….,” jawab Naya dengan senyuman manis.
Nara terkekeh, “Naya, jangan ngomong sembarang lah. Naya kan sehat-sehat aja selama ini,” timpal Nara seraya menyentuh lembut tangan yang bergetar itu.
“Bunda….,” panggil Naya, membuat Nara menatap manik mata Naya dalam yang di penuhi dengan linangan air mata.
“Iya sayang?” jawab Nara, ia menghela nafas nya panjang.
“Naya enggak bercanda Bunda, nanti jika terjadi sesuatu sama Naya, aku cuman minta satu yaa Bun, Naya mau tetap ngelahirin anak ini,” ucap Naya seraya memegang perut rata nya.
“Kamu hamil Nay?” tanya Nara menatap tidak percaya.
Naya sudah terduduk, lalu mengambil sesuatu yang Naya simpan dalam bantal nya, “Naya hamil, Bun,” jawab Naya menyerahkan sebuah test pack dengan garis dua merah.
Nara terharu lalu membawa Naya ke dalam pelukannya, “Nay, sebentar lagi kamu jadi Ibu. Selamat ya sayang” ucap Nara dalam pelukan hangat itu.
“Bunda, janji satu hal sama Naya ya,” pinta Naya yang terus menagis tanpa suara, hanya air mata itu yang berkata semuanya.
“Apa sayang?” tanya Nara, yang sudah menyentuh pundak gadis mungil yang sedang bergetar hebat.
“Apapun yang terjadi sama Naya nanti, jangan pernah bawa Naya ke rumah sakit. Kecuali, nanti saat Naya mau ngelahirin lebih dari itu jangan pernah bawa Naya ke tempat itu,” ucap Naya masih dengan tangisan yang sama.
“Kenapa sayang, kamu sakit apa?” tanya Nara mengapa Naya terus saja mengatakan hal seperti itu.
“Tolong jagain anak Naya nanti yaa Bun,” ucap Naya, setiap ucapan nya penuh dengan getaran.
“Kamu mau kemana memangnya sayang?” tanya Nara, tangisan itu tidak pernah berhenti.
“Ke tempat yang sangat jauh….,”jawab Naya tersenyum manis, tapi hati nya teriris.
“Terus? Kamu bisa ajak Saka sayang, ajak anak kamu nanti, dan ajak Bunda juga,” ucap Nara.
Naya menggelengkan kepala nya kuat, “Enggak Naya enggak akan bawa kalian, Naya bisa sendirian kok dan nanti juga pasti ada Mamah,” jawab Naya menunduk dalam. Bahkan tetesan air mata begitu terlihat.
Nara menguncang kuat tangan Naya, “Kamu ngomong apasih, gak akan terjadi sayang. Gak Naya kamu enggak akan apa-apa. Kalian akan bersama selamanya,” timpal Nara, tidak terasa ia pun sudah ikut menangis. Nara tidak tau pasti apa maksud dari Naya, tapi yang jelas adalah gadis ini memiliki sesuatu yang sangat dan begitu menyakitkan.
“Semoga anak Naya nanti mirip sama aku ya Bun, biar Saka gak akan kesepian nantinya. Biar Saka punya versi baru dari Naya,” jawab Naya dengan kekehan, terlihat lucu tapi begitu menaykitkan.
Naya mengelap wajah nya kasar, “Sayang, kamu harus kuat. Dan nanti bisa jagain Papah,” Naya berucap seraya menyentuh lembut perut rata nya.
“Cerita Naya, kamu kenapa sayang?” tanya Nara seraya menyentuh lembut puncak kepala yang sedang menduduk dalam.
“Na-Naya kena-” ucap Naya terpotong, terasa berat untuk mengucapkannya.
“Kena apa?” tanya Nara.
“Janji ya Bun, jangan pernah bilang sama Saka. Naya gak mau buat Saka jadi kepikiran nantinya,” ucap Naya mengangkat jari kelingking nya lemah.
Nara tanpa ragu langsung mengaitkan nya membentukseolah janji yang tidak boleh di langgar, "Iya sayang janji," ucap Nara yakin.
"Janji, jangan langsung bawa Naya ke rumah sakit," lanjut Naya, Nara mengganguk,"Iya, Bunda janji" jawab Nara.
"Naya di diagnosis Kanker Otak, Bunda,"
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPAKSA MENIKAH (End)
Fiksi RemajaCerita Berganti judul, Judul sebelumnya Saka Armada Menikah karena di jodohkan atau karena tragedi? Cerita lika-liku Saka dan Naya untuk mencapai ke titik itu, kehidupan kedua nya penuh dengan pelik dan seperti drama ala-ala sinetron indonesia. Saka...