Orphanage

8.3K 872 107
                                    

Jangan lupa taburin vote dan komen ya🙌🙇

Putar lagu di mulmed, biar oke.

Sejauh ini aku masih saja bingung dengan hubungan kita, jelas kita adalah takdir yang menyakitkan. Tapi sampai sekarang, kenapa kita masih
saja bertahan?




Ola duduk di kursi taman kampus, ia termenung. Hari ini terasa sangat membosankan. Ah ia ingin segera pulang, ia mau rebahan di apartemen.

"La, habis ini kitak mall yuk?" ajak Vina, gadis itu menatap Ola penuh harap.

"Kamu ini, jangan sering keluyuran, gunakan waktu dengan sebaik mungkin, pergi ke tempat yang bermafaat contohnya," ujar Siti tanpa menoleh, gadis bercadar itu terlihat sibuk dengan bukunya.

"Iya–iya Bu Ustazah yang terhormat, tapi kan refreshing juga perlu, biar gak suram–suram amat," sahut Vina.

Mendengar itu, siti langsung menoleh, menatap Vina dengan penuh selidik, terlihat jelas dari pancaran matanya. "Jadi, menurut kamu, melakukan sesuatu yang bermafaat adalah hal yang suram?"

Vina gelegapan sendiri, ah Siti terlalu serius orangnya, tidak bisa di ajak bercanda."Bukan gi–tu maksudnya aduh.."

"Terus apa?"

Ola mendesah, temannya ini semakin membuat kepalanya sakit.

"Aku gak mau kemana-kemana..," ujar Ola, ia menatap ke depan, banyak mahasiswa yang berlalu–lalang.

"Why? Ayolah sesekali kita jalan–jalan. Lagian, kamu gak punya suami, jadi kamu bisa bebas, La." Vina merengek, padahal ia ingin sesekali ngumpul, tapi teman–temannya selalu punya alasan untuk menolak.

Ola mematung untuk beberapa saat, seharusnya di usia yang sekarang, ia tidak memiliki suami, harusnya begitu.

"Aku tetap gak bisa, Vin. Lain kali saja, dan meski tidak ada aku, kalian tetap bisa bersenang–senang," ucap Ola sambil menompong dagunya, entahlah kenapa ia bisa malas sekali jalan-jalan, seakan–akan hidupnya tidak bearti.

Vina merenggut, ia paling tidak suka di tolak terus menerus. "Oke, hari ini aku masih bisa sabar. Tapi ingat, besok kamu harus bisa! Gak menerima alasan apa pun lagi!"

Ola hanya mengangguk, bisa gawat jika ia menggeleng.

Vina bangkit dari duduknya, ia sudah putuskan, apa pun yang terjadi, ke mall harus tetap lanjut. "Aku mau cari Fara dulu, ish lama sekali anak itu, ke toilet hampir setengah jam."

"Palingan Fara lagi di monopoli Abangnya, secara kan ya, Fara itu cantik. Jadi, daebak kalau dijadikan pacar pura–pura," ujar Ola terkekeh. Mengingat peraturan di keluarga barunya, dilarang pacaran. Kasihan jiwa fakboi Samudra.

"Uh meski kelakuan kayak gitu, aku tetap menyukai Bang Sam. Untung Fara cuma sebatas adik, gak kebayang kalau bukan. Masa aku perang sama teman sendiri." Vina tertawa sendiri membayangkan jika ia benar–benar perang dengan Fara. Setelah mengatkan itu Vina berlalu, meninggalkan Ola dan siti.

Terlihat siti yang sedang membaca buku, begitu serius. Ah Ola yakin, hidup Siti pasti sangat monoton. "Sit kamu gak gerah kalau pakai cadar?" Entahlah sudah berapa kali ia menanyakan ini pada Siti.

"Enggak, malah nyaman," jawab Siti seperti biasa, sebanyak apa pun Ola bertanya, jawaban gadis bercadar itu tetap masih sama.

Ola mengedik bahu, baguslah kalau Siti nyaman.

"Hari ini aku mau ke panti, udah lama aku gak ke sana, kamu mau ikut, La?" Siti menutup buku bacaanya dan memasukkanya ke dalam tas.

Ola terdiam beberapa saat, ia menatap Siti yang juga sedang menatapnya.

"Boleh juga."

—————————————————

Di sinilah Ola dan Siti berada, panti asuhan. Pelita Hati.

Sendari tadi Ola hanya diam saja, memperhatikan interaski Siti dengan anak–anak panti. Mereka terlihat sangat dekat dan bahagia. Sebelum ini, Ola belum pernah melihat Siti yang begitu terlihat bahagia, ramah, seperti tanpa beban. Hari ini, bersama anak panti, Siti seperti menemukan kebahagian yang tidak bisa gadis itu rasakan saat mereka berkumpul bersama.

Ola bangkit dari duduknya, ia berjalan menyusuri perkarangan panti, ia berjalan ke halaman belakang. Terlihat danau kecil. Melihat itu, langsung saja Ola berjalan dengan cepat. Apa yang ia lihat sekarang  sangatlah mengagumkan, kenangan tentang pesantren kembali memenuhi benaknya. Air terjun— tempat ia menyendiri saat abiya memarahinya. Ola memejamkan matanya, menikmati lembutnya sapuan angin di wajahnya.

"Lo di sini, Ola?" Suara seseorang berhasil mengagetkan Ola, langsung saja ia membalikkan tubuhnya, dan benar saja, seseorang yang begitu ia kenali sedang berada di hadapannya dengan raut kebingungan.

"Eh Kak Arjun kok bisa di sini juga?"

Arjun mendorong pelan kursi roda yang di tempati seorang anak kecil ke arah pinggiran danau. "Rajwa di sini dulu ya," ujar Arjun, terlihat anak kecil bernama Rajwa itu mengangguk pelan sambil tersenyum.

Lalu setelahnya ia baru duduk di bangku kayu. "Duduk dulu," perintah Arjun sambil menepuk tempat kosong di sampingnya.

"Lo kok bisa di sini?" tanya Arjun menatap Ola.

"Di ajak Siti."

"Siti adek gue?" tanya Arjun memastikan. Ola mengangguk pertanda iya.

"Kalau Kak Arjun sendiri kenapa bisa di sini?"

"Gue hampir setiap hari ke sini, nemanin anak panti. Mereka udah kayak keluarga gue." lagi–lagi Ola hanya mengangguk.

Hening, mereka sama–sama diam.

Tiba–tiba teriakan histeris dari Rajwa, mengaetkan Arjun dan Ola, dengan panik mereka menghampiri Rajwa.

"Kak Arjun di sini, jangan takut. Jangan nangis lagi ya.. " Arjun memeluk Rajwa dengan erat, seolah–olah memberi kekuatan. Anak kecil itu masih menangis di pelukan Arjun, pungungnya bergetar hebat.

Dalam diam, Ola hanya memerhatikan apa yang terjadi dengan pandangan yang berbeda. Kali ini, seseorang yang terlihat kaku itu terlihat begitu lembut dan  perhatian.

——————————————

"Kamu kok akhir–akhir ini gak lagi ke Jerman?" Suara di sebrang sana terlihat merenggut. Kyelin berbicara dalam bahasa Jerman. Ah gadis ini gampang sekali kesal.

"Tidak ada jadwal penerbangan ke Jerman, Kye," balas Rafa.

"Kalau gitu, aku aja yang ke Indonesia, gimana?

Mendengar itu Rafa mengerutkan keningnya." Hah? Buat apa?"

"Ketemu kamulah, memang buat apa lagi? "

"Sayang... Dengar aku, tidak semudah itu jika kita bertemu di Indonesia..."

"Aku cuma rindu kamu, apa salahnya? Jika begini terus, aku merasa seperti bukan prioritas kamu lagi. Apa hubungan kita tidak penting lagi?"

Rafa bangkit, ia berjalan ke arah balkon. Ia mengacak rambutnya berulang kali." Bukan begitu. Aku cuma..."

"Cuma apa?"

Rafa memerhatikan arlojinya, sudah jam 8 lewat, dan sampai sekarang Ola juga belum pulang, sial! Gadis itu benar–benar menyusahkan.

"Rafa? "

"Aku tutup dulu ya, nanti aku hubungi kamu lagi."

———————————————
Aceh, 30 Mei 2020

Komentarmu di bab ini?








I'm With Rafa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang