bab 18

962 138 3
                                    


.
.
.
.

Beberapa hari kemudian.

Temari terlihat cemas. Dirinya tidak berhenti berjalan kesana kemari, mencari cara supaya masalahnya bisa selesai. Ini sudah waktunya. Ini sudah tepat satu Minggu sejak ayahnya memintanya mengenalkan seseorang.

Tapi, ia sama sekali tidak menemukan satu orang pun  untuk membantunya menjadi kekasih pura pura nya. Beberapa hari kebelakang, ia memang sempat menemukan tiga orang lelaki yang berbeda yang bersedia  untuk hanya ia kenalkan sebagai kekasih palsunya. Ia bahkan sudah membayar mereka semua. Namun, mendadak mereka mengundurkan diri begitu saja.

Temari sungguh terkejut. Alasan yang ketiga lelaki itu ucapkan memang cukup membuatnya mengerti. Tapi, kenapa bisa berbarengan. Mereka tidak jadi melakukan kerja sama dihari dan jam yang sama. Temari tidak bisa apa apa. Dan akhirnya, ia sekarang dilanda kebingungan luar biasa.

Bagaimana jika ayahnya menghubunginya dan menagih janjinya. Bagaimana jika ia ingkar, lalu ayahnya langsung menikahkannya. Itu sebenarnya bukan masalah besar jika saja orang yang akan dinikahkan dengannya adalah lelaki tampan dan sempurna.

Tapi, orang yang akan dinikahkan denganya adalah seorang lelaki yang sudah memiliki satu orang anak. Memang belum terlalu tua. Tapi itu sungguh diluar keinginannya. Dari dulu, ia sangat tidak ingin berhubungan dengan seorang lelaki beranak. apalagi menikah dengannya.

Ia sempat bersandiwara dengan menangis ditelepon malam tadi pada ayahnya. Ayahnya sangat tega. Ia sama sekali tidak ingin menikah dengan lelaki itu tapi ayahnya bilang lelaki itu sangat cocok untuknya. Sungguh keterlaluan, pikirnya.

Drrrt...drtt...

Temari melirik pada ponsel digenggamannya. Nama sang ayah tertera dilayar ponsel.

Ia tidak segera menjawab. Temari malah mengamati ponsel dengan wajah takut. Pasti ayahnya akan menagih janji nya waktu itu.

"Apa aku tolak saja panggilannya?" Tanyanya dalam hati.

Temari lama terdiam hingga akhirnya bunyi ponsel menghilang.

"Huh...." Terdengar nafas lega keluar dari bibirnya.

Namun itu tidak berselang lama, karena beberapa detik kemudian, ayahnya kembali menelponnya.

"Tuhan... Bantulah aku. Aku belum menemukan seseorang."

Ceklek...

Temari menoleh. Sakura terlihat berdiri di ambang pintu. Ia langsung mendekati gadis itu.

"Sakura... Tolong angkat teleponku. Bilang pada ayahku, aku sedang tidak ada dan ponselku tertinggal padamu"ujarnya terburu buru.

Sakura menetap bingung.

"Kau kenapa?"

"Nanti kujelaskan. Cepat angkat teleponnya."

Sakura dengan ragu mengambil ponsel yang disodorkan padanya.

"Ha...hallo"

"...."

"Maaf paman, Temari... Dia sedang keluar. Ponselnya tertinggal di tas ku tadi"

"....."

"I..iya paman. Nanti akan aku sampaikan pada Temari."

"..."

"Baik paman"

Tuttt...

Sambungan ponsel terputus. Temari kembali menghela nafas lega.

"Kau itu sebenarnya kenapa?"

"Aku akan menjelaskan semuanya padamu. Tapi kau harus berjanji, kau tidak boleh memberitahu siapapun"

Sakura mengangguk.

" Iya"

.
.
.
.

Disisi lain, Ino tengah terdiam melamun di halaman belakang villa.
Sejak saat dia memutuskan persahabatannya dengan Sai, entah kenapa ia selalu merasa terganggu. Pikirannya salalu kacau.

Ia sungguh tidak menyangka, Sai memiliki perasaan padanya. Ini memang harus terjadi karena Sai memang sudah berjanji padanya.

Sedih, tentu saja. Ia sedih karena sekarang ia tidak punya sahabat baik lagi. Ino terbiasa menggantungkan dirinya pada Sai. Walau semenjak ia berpacaran dengan Utakata, mereka jadi sedikit menjauh.

Dulu, ia sering menghabiskan waktu bersama. Lebih lama dibanding saat ia berkencan dengan Utakata.

Sai adalah lelaki yang paling sempurna yang pernah ia kenal. Lelaki itu segalanya bagi Ino. Tapi Ino tidak mengharapkan cinta dari Sai.

Entahlah, ia sekarang jadi bingung. Ia merasa sakit hati saat ia sama sekali tidak mendapat kabar dari Sai. Padahal ia sendiri yang memutuskan persahabatan mereka.

Sementara kekasihnya, ia juga tidak tau kabar lelaki itu. Utakata tidak pernah menghubunginya lagi akhir akhir ini.

Berbeda sekali dengan Sai dulu. Lelaki itu selalu menyempatkan diri untuk mengingatkan sesuatu padanya dan menanyakan keadaan dirinya.

Ino dilema. Ia merasa Aneh dengan perasaannya. Ia tidak mendapatkan kabar Sai baru beberapa hari saja. Tapi ia sangat kepikiran dengan lelaki itu.

Sedangkan Utakata, ia sudah lumayan lama tidak berkomunikasi dengan kekasihnya itu. Tapi, ia merasa biasa saja.

Sebenarnya ada apa dengan hatinya. Ada apa dengan perasaannya. Kenapa ia sangat merasa kehilangan saat ditinggalkan Sai dari pada Utakata.?

" Tuhan... Kenapa aku jadi seperti ini. Aku sendiri yang memutuskan persahabatan kita. Tapi, kenapa aku yang sangat merasa kehilangan. Sedang kan dengan kekasihku sendiri yang sudah lama tidak mengabari ku, aku terlihat baik baik saja. Ada apa sebenarnya. Kenapa hatinya begitu sakit sekarang?"

Ino lagi lagi menangis. Apa mungkin keputusannya ini salah? Apa mungkin langkahnya ini salah?

"Tidak... Aku mungkin Terlalu kecawa pada Sai hingga aku seperti ini. Tapi ini sudah kami sepakati. Ini semua yang terbaik bagiku dan juga Sai."

Ino kembali meyakinkan dirinya. Ia beralibi bahwa kesedihannya hanyalah karena ia terlalu kecewa pada Sai. Bukan karena hal lain.

.
.
.
.
.

Maaf maaf kalo banyak typo atau penulisannya jelek. Jangan lupa tinggalkan jejak ya para readers!!!

squadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang