Lima Puluh Lima

2.9K 114 55
                                    

Mohuru, pukul 22.47 waktu setempat.

Gelisah. Itu yang mereka berdua rasakan. Pasalnya, sampai sekarang masih tidak ada kabar tentang Seo Dae Young. Terpaksa menggunakan mobil yang dipinjami Daniel, mereka berdua bergegas menuju lokasi yang tercantum dalam pesan singkat yang mereka temukan dalam paket. Mereka tidak bisa mengambil tindakan beresiko tinggi mengingat belum adanya kepastian dan detail jelas mengenai situasi yang membelit Mayor Sersan Seo. Untuk sementara, mereka ke tempat itu hanya untuk melihat situasi dan melakukan apa yang dapat mereka lakukan. Setelah situasi dan kondisinya jelas, baru mereka akan putuskan apa yang semestinya mereka lakukan. Itulah jalan amannya, pikir mereka. Bertidak gegabah hanya akan membuat segalanya semakin rumit dan tidak terkendali.

Yoo Si jin membuka dasboard dan mengambil senjata api dari dalamnya. "Ambil ini, untuk berjaga-jaga." Ulur Yoo Si Jin tanpa menoleh pada Myeong Ju yang tercengang dengan apa yang disodorkan padanya.

"Kau lebih tahu dari siapapun kita tidak bisa menggunakan ini."

"Hanya untuk berjaga-jaga jika situasi tidak terkendali. Kita masih tidak tahu bagaimana situasi disana."

"Apa menurutmu sekarang dia sedang mengalami situasi sulit?" Yoon Myeong Ju tak ingin membayangkan.

"Semoga hanya kekhawatiranku." ujarnya yang tidak menjawab secara langsung.

"Aku harap dia hanya tersesat dan lupa jalan pulang." Ucap asal Myeong Ju tak ingin kekhawatiran mereka berdua menjadi kenyataan.

Sekilas, Yoo Si Jin menatap Yoon Myeong Ju yang menatap jauh ke luar. "Semoga saja."

***

"Apa yang dikatakannya benar. Dia tidak berhubungan dengan peristiwa itu." Lelaki bertubuh bugar, bertinggi nyaris sama seperti pria yang menerima uluran foto dan beberapa lembar kertas yang mendukung pernyataannya. "Eric yang menghianati kita. Dia sengaja memancing kita untuk pergi ke tempat pembuangan dan menukar berliannya."

"Kurang ajar!" Tangannya meremas foto pria berwajah oval dengan kumis tipis.

Tawa kecil meremehkan menyela dalam percakapan. "Sudah ku bilang." Tatapannya menatap tajam. "Aku tidak menyangka kau begitu mudah dikelabuhi." Kata-kata remeh yang menusuk.

"Lalu bagaimana ini." Pria peremas foto yang nyatanya Argus mendekati pria yang berusaha memprovokasinya, Seo Dae Young. "Aku salah mengangkap orang? Apa aku harus melepaskannya atau aku harus melenyapkannya?"

Seo Dae Young mendengus sinis.

"Buatlah penawaran."

"Dari awal aku tidak berhubungan denganmu. Penawaran apa yang kau harapkan? Hm?" Seo Dae Young penuh arogansi.

Argus mengerucutkan bibirnya, menatap gerakan tangannya mengelus halus kaki Seo Dae Young yang telah ditembaknya sore tadi. Noda yang semula merah basah kini sudah terlihat mengering dibeberapa sisi. "Entahlah." Gerakannya semakin mengintimidasi. " Bagaimana jika kau awali dengan memohon?"

"Memohon padamu? Cih." Seo Dae Young meludah.

Tak ada kerucutan bibir lagi melainkan tawa. "Aku rasa kau menolaknya."

"Aku sama sekali tidak bersalah, untuk apa aku memohon? Bukankah seharusnya kau yang meminta maaf padaku saat ini?"

"Kau terlalu tinggi bermimpi."

"Benar. Bahkan dalam mimpiku, aku bertanya apa yang akan kau lakukan padaku sekarang, saat orang yang mempermainkanmu sedang tertawa mengejekmu di luar sana."

"Eric bukan masalah sulit untukku. Aku bisa dengan mudah membereskannya nanti. Kenapa kau tidak bertanya, apakah aku akan membereskanmu juga atau tidak?" Tawanya menang. "Bersikap baiklah agar aku segera membebaskanmu."

DOTS 2: Everytime Is You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang