Harold memandangi foto ukuran A4 dengan bingkai kayu sederhana di atas meja kerjanya. Foto keluarga yang diambil ketika dirinya dan keluarganya sedang berlibur ke Bali. Berlatarkan pantai pasir putih, langit biru dan beberapa pohon kelapa yang menjulang indah, Harold beserta istri dan kedua anaknya tersenyum bahagia ke arah kamera. Kaki mereka masih dipenuhi pasir dari istana pasir yang mereka bangun bersama sebelum Harold meminta tolong salah satu anak buahnya untuk mengabadikan moment kebersamaan itu. Spontan dan tanpa direncanakan namun memancarkan senyum hangat yang membekas di hati Harold. Kenangan indah yang tidak bisa dipertahankannya dalam waktu lama.
Saat ini Karisa berhasil diculik oleh musuh utamanya. Membuka memory lama ketika Alice juga diculik sewaktu ia masih kecil. Walaupun sudah berlalu bertahun-tahun lalu tapi trauma kehilangan buah hatinya saat itu masih membekas di otaknya. Ditambah kenangan ketika istrinya dibunuh di depan matanya. Dia tidak ingin kehilangan lagi. Keputusan untuk meniggalkan Karisa di Indonesia setelah kejadian penembakan istrinya adalah keputusan yang sangat berat. Melihat putrinya tumbuh dengan beban dan trauma mendalam, tanpa kasih sayang dan bimbingan orang tua, Harold sudah tidak tahan.
Dia memutuskan untuk mengakhiri ini semua. Peperangannya dengan Ivan bisa berlangsung selamanya jika dia hanya berlari dan tidak melawan balik. Harold menarik laci mejanya dan mengambil telepon genggam lipat berwarna hitam yang hanya boleh digunakan dalam keadaan terdesak. Hanya ada satu nomer yang tersimpan di dalamnya. Harold memilih nomer tersebut dan menekan tombol call. " It's me, Harold."
" Akhirnya kau menelpon juga. Aku dengar Ivan berhasil menculik anakmu," jawab pria itu langsung pada inti pembicaraan.
" Bagaimana kau tau?" tanya Harold terheran-heran.
" Tidak ada yang tidak aku tahu, Harold. Apalagi menyangkut masalah keluarga."
" Dimitri, aku sudah tidak sanggup melanjutkan peperangan ini. Kalaupun aku bisa mendapatkan anakku kembali, Ivan tidak akan tinggal diam. Sampai kapan ini berakhir?" suara Harold bergetar sambil memohon kepada pria itu.
" Kau sendiri yang datang meminta bantuanku untuk menghentikan Ivan."
" Kita sudah sepakat bahwa ini Win-Win solution untuk kita semua. Kau tidak bisa memenjarakan Ivan karena dia adikmu dan aku harus menghentikannya agar tidak menelan banyak korban. Tapi.."
" Tapi kau tidak berani membunuhnya kan?" potong Dimitri halus tapi tepat sasaran. Harold terdiam mendengar pertanyaan Dimitri. Ini bisa jadi pertanyaan jebakan. Jika dia gegabah, masalah yang ditimbulkan bisa lebih banyak.
" Apa jaminannya keluargamu tidak berbalik menyerangku karena sudah membunuh adikmu?"
" Tidak ada. Darah lebih kental dari pada air, Harold. Sebenci apa pun aku pada Ivan, dia tetap anak ayahku. Justru keluarga besar akan curiga jika aku tidak membalas kematian Ivan," jawab Dimitri datar sesuai dugaan Harold.
" Apakah ada cara lain untuk menghentikan ini semua?"tanya Harold putus asa sambil memijit pelipisnya berharap pening di kepalanya bisa mereda. Nampaknya imsomnia akan kembali menghantuinya malam ini dan membuat sakit kepalanya semakin menjadi.
" Berikan yang dia mau Harold," jawab Dimitri setelah terdiam beberapa saat. Memutuskan apakah strateginya akan berhasil atau tidak.
" Maksudmu membiarkan dia menang dan mendapatkan kembali hak atas bisnis di keluargamu?" Harold mengerutkan matanya bingung dengan jawaban Dimitri yang tidak masuk akal. Dia berharap Dimitri memberikan solusi untuk menyerang bukan menyerah.
Dimitri tertawa kecil mendengar respon dari Harold. Respon kebingungan yang sudah diprediksinya. " Apa sifat bijakmu sudah terkikis, Pak Tua? Tak pernah kah kau mendengar istilah mundur selangkah untuk melambung lebih jauh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Billion Dollar Maid
RomansaKarisa sangat terkejut karena adik dari ibunya tanpa minta izin langsung menempati rumah milik Ibunya yang akan diwariskan kepada Karisa. Karisa menyamar sebagai pembantu untuk memata-matai adik ibunya beserta anaknya tersebut. Tapi konflik cinta da...