Suasana senyap sudah biasa ia dapatkan. Terlebih lagi di rumah ini hanya ada dua orang. Prilly dan Adam. Jika Adam sibuk bekerja, maka Prilly akan sendirian di rumah.
"Gimana sekolahnya? Seru?" Tanya Adam dengan secangkir kopi di tangannya. Dia ikut duduk di samping Prilly yang sedang fokus menonton acara televisi.
"Biasa aja. Tapi aku dapat temen yang baik kok." Sahutnya tanpa menoleh ke arah Adam.
Adam maklum dengan sifat Prilly. Jika anak itu fokus dengan sesuatu maka ia melupakan sekitarnya. Hal itu sudah Adam ketahui sejak Prilly berusia lima tahun.
"Cowok, cewek? Kenalin lah ke papa."
Prilly menoleh,"cewek. Kenapa? Papa mau cari istri baru lagi? Boleh sih, asal siap aja aku sunat." Ucap sarkastik dengan mata yang di sipitkan.
Adam tekekeh lalu mengacak rambutnya,"sembarang, papa itu udah cinta mati sama mama kamu. Mana mungkin berani berpaling."
"Kali aja. Lagian temen aku juga nggak mau sama yang udah berumur." Prilly merapikan rambutnya yang di acak-acak oleh Adam.
"Heh! Papa mu ini masih muda ya. Masih kuat bikin adek buat kamu."
"Astaga papa, mulutnya suka nggak di filter kalo ngomong."
"Ngapain pake filter, orang muka papa udah glowing." Ucap Adam seraya mengecap kopinya. Prilly memutar bola matanya malas melihat tingkah nyebelin Adam.
"Cowok ada yang deketin kamu?" Tanya Adam.
Prilly menatap Adam sekejap lalu langsung berwajah masam.
"Nggak ada."
"Masa? Terus yang biasa jemput sama nganterin kamu sekolah siapa?" Kata Adam dengan nada menggoda sambil menaik turunkan alisnya.
Prilly mendengus kesal,"bukan siapa-siapa." Jawabnya asal.
"Yakin?" Prilly mengangguk mantap.
"Katanya bukan siapa-siapa, tapi telponan tiap malam. Terus suka jalan bareng kalau libur sekolah. Itu tuh yang di bilang bukan siapa-siapa?" Adam semakin gencar menggoda anak semata wayangnya itu.
Wajah Prilly memerah layaknya udang yang sedang di rebus,"IH PAPA! Aku sama dia itu cuman sebatas kakak kelas sama adek kelas. Nggak lebih."
"Kasian cuman di anggap adek kakak." Adam langsung lari masuk ke dalam kamarnya sebelum mendengar teriakan dari anaknya.
"PAPA! POKOKNYA BULAN INI UANG JAJAN AKU DI TAMBAH DUA KALI LIPAT! TITIK NGGAK PAKE KOMA." Teriak Prilly menggelegar membuat Adam tertawa mendengarnya.
Seperti malam-malam sebelumnya, mereka menghabiskan waktu bersama dengan saling bertukar cerita. Tak jarang kadang Adam mengangkat tubuh Prilly ke kamar karena anak itu tertidur di ruang tamu.
Untungnya ia sudah terbiasa melakukan itu. Walau usianya sudah menginjak kepala tiga, tapi jangan salah kalau soal angkat-mengangkat. Adam sudah terlatih mengangkat beban berat di tempat gym.
"Sebenarnya lo sama Prilly itu ada hubungan apa sih? Gue lihat makin hari makin lengket aja." Ucap Revan pada Ali yang sedang bermain basket di halaman rumah Nio.
Ali mengendikkan bahunya acuh,"biasa aja."
Rian merebut bola dari Ali,"keliatannya nggak biasa tuh." Celetuknya.
"Jangan sok ngartis deh Li, setiap ditanya jawabnya, kita cuman sahabatan. Basi tau nggak, anak kecil juga bisa bedain kali, mana sahabat beneran mana sahabat modus." Cibir Aksa setelah itu ia meneguk sebotol minuman soda berwarna merah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Seorang Badboy
Ficção AdolescenteJatuh cinta dengan seorang Badboy bukanlah impiannya. Tapi apa boleh buat jika takdir berkata lain. Berawal dari tabrakan tak sengaja di koridor sekolah hingga menjadi asisten seorang Badboy. Benci jadi cinta adalah hal yang lumrah bagi manusia. Te...