Dalam hidup, kita sering kali berhadapan dengan keputusan sulit. Mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu yang baru biasanya membuat kita mengorbankan hal lain. Itulah yang membuat proses ini sulit, ada kehilangan yang harus dihadapi serta ketidakpastian masa depan.
"Gue harap lo milih stay Prill." Gumam Ali seraya menatap rumah Prilly dengan penuh harapan.
Menarik nafas dalam lalu memejamkan matanya sebentar. Dengan langkah tegas dia mengetuk pintu rumah Prilly dengan sedikit keras.
Tok. Tok.
Tanpa menunggu lama pintu terbuka, menunjukkan Adam dengan wajah yang menahan emosi.
"Mau apa lagi kamu kesini."
"Om, saya mohon kasih saya kesempatan buat ngomong sama Prilly."
"Harus saya bilang berapa kali kalau kamu nggak usah ketemu anak saya lagi."
"Saya ada hak, om."
Adam tersenyum sinis. "Hak? Hak apa yang kamu maksud. Kamu bukan siapa-siapa anak saya."
"Benar memang saya bukan siapa-siapa anak om, tapi saya ayah bayi yang di kandung Prilly." Ucap Ali dengan tegas.
Adam membisu. "Nggak usah berharap kamu."
"Mau sampai kapan om sembunyiin kebenarannya kalau Prilly hamil anak saya." Balas Ali dengan nada melemah.
Adam menatap ke arah lain lalu kembali menatap Ali. "Puas kamu! Hah! Puas kamu udah hancurin hidup anak saya, itukan yang kamu mau dari dulu." Adam mencengangkan kerah baju Ali.
Ali hanya menatap ke arah lain. Hatinya juga tak kalah hancur dengan Adam. Di saat dirinya masih bisa bersekolah dan mengejar masa depan, tapi orang yang dia sayang malah hancur akibat perbuatannya sendiri.
"Saya mohon om, saya nggak punya pilihan lagi selain ketemu sama Prilly. Saya mau minta jawaban sama dia." Kata Ali dengan lirih.
Adam melepaskan cengkeramannya. "Jawaban apa yang mau kamu minta sama anak saya."
"Tentang semua nya, maka dari itu saya harus ngomong sama dia. Sekalian mau lihat kabar anak saya." Kata Ali dengan nada lemah di akhir kalimatnya.
Adam memikirkan ucapan Ali, dia juga tidak ingin menjadi seorang yang egois hanya untuk kepentingan dirinya. Bagaimana pun Ali berhak untuk bertemu anak yang ada di kandungan Prilly.
"Ya sudah, saya ijinkan kamu bertemu dia. Tapi jangan sampai membuat Prilly ketakutan."
Ali mengangguk mantap. Tangannya mendadak menjadi dingin. Sebelumnya belum pernah dia setakut ini, bahkan saat menghadapi musuh dengan senjata mematikan pun dia tak pernah setegang ini.
Adam membawa Ali menuju kamar Prilly di lantai dua. Kamar yang selama dua minggu terakhir ini menjadi tempat ternyaman bagi Prilly. Pandangan pertama yang Ali lihat adalah gelap. Dan sedikti berantakan.
Jadi selama dua minggu ini, ini yang kamu lakuin. Batin Ali.
Ali menatap Adam seolah bertanya bolehkah dia masuk. Adam menjawab dengan anggukan kepala yang sedikit ragu.
Ali melangkah berjalan mendekati Prilly yang sedang meringkuk di dalam selimutnya, hanya kepadanya yang terlihat karena tidak tertutupi seimut.
Ali mengelus rambut hitam beraroma strawberry itu dengan pelan. "Prill."
Prilly tersentak lalu menoleh menatap Ali. Matanya langsung berair, dengan cepat dia menjauhkan dirinya dari Ali. Ali yang mendapat respon seperti itu hanya bisa menghela nafas kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Seorang Badboy
Fiksi RemajaJatuh cinta dengan seorang Badboy bukanlah impiannya. Tapi apa boleh buat jika takdir berkata lain. Berawal dari tabrakan tak sengaja di koridor sekolah hingga menjadi asisten seorang Badboy. Benci jadi cinta adalah hal yang lumrah bagi manusia. Te...