Jatuh cinta dengan seorang Badboy bukanlah impiannya. Tapi apa boleh buat jika takdir berkata lain. Berawal dari tabrakan tak sengaja di koridor sekolah hingga menjadi asisten seorang Badboy.
Benci jadi cinta adalah hal yang lumrah bagi manusia. Te...
Suara dobrakan pintu menggema di ruangan itu. Membuat dua orang yang ada di dalamnya langsung menoleh.
"LO APAIN CEWEK GUE. ANJING!"
Ali berlari cepat ke arah Putra, langsung memukul wajah cowok itu secara bertubi-tubi. Ia marah saat melihat Prilly di perlakukan seperti wanita murahan di luar sana.
"Bi bir ce wek lo manis juga." Ucap Putra di sela-sela pukulan Ali.
"Bangsat! Lo udah kelewat batas." Ucap Ali dengan emosi yang menggebu-gebu.
Bugh. Ali memukul sudut mata Putra dengan keras.
Bugh. Ia juga memukul bahkan meninju perut cowok itu secara beringas.
Ali kecewa pada dirinya sendiri karena merasa gagal menjaga Prilly. Ia merasa separuh hatinya hancur saat melihat ketidakberdayaan kekasihnya.
"Pukul gue semau lo, kalau perlu lo buat gue kaya Meira." Perkataan Putra membuat Ali menghentikan pukulannya.
Putra tersenyum sinis. "Kenapa berhenti? Keinget sama adek gue?" Tanya Putra sinis, seraya mengelap darah yang mengalir di sudut bibirnya.
Ali berdiri lalu menatap Putra tajam. Tangannya terkepal kuat. Sedangkan Prilly, matanya sudah memerah akibat terlalu banyak menangis.
Putra tersenyum remeh sambil memegang perutnya lalu berdiri secara perlahan-lahan. Ia tertawa sumbang, lalu menatap Ali dengan penuh kebencian.
"Gue yakin lo nggak akan lupa penyebab kematian Meira." Kata Putra pada Ali.
"Masalah itu udah selesai." Sahut Ali dingin.
"Udah selesai lo bilang? Segitu mudahnya lo ngomong kaya gitu, setelah apa yang udah lo perbuat sama adek gue. Lo udah ngerebut masa depan dia, Setan! Harusnya waktu itu lo di penjara seumur hidup, kalau perlu di hukum mati sekalian. Biar semuanya impas!" Ucap Putra seraya menahan emosinya yang mulai memuncak. Ia berjalan secara perlahan, mendekat ke tempat di mana Ali berdiri.
"Nyawa di balas nyawa!" Kata Putra dengan penuh penekanan, tepat di depan wajah Ali.
Bugh.
Putra memukul wajah Ali, membuat Ali spontan hampir terjatuh, untung saja ia mampu menahannya.
Ali menatap tajam Putra. "Gue nggak pernah ngebunuh Meira, dan gue nggak pernah ngelakuin seperti apa yang lo bilang. Ingat itu!" Ali membalas memukul Putra.
"Penjahat nggak bakal ada yang mau ngaku." Kata Putra sinis lalu membalas memukul Ali.
"Lo udah ngebuat adek gue hamil, bangsat! Bahkan lo ngebuat Meira pergi ninggalin gue selama-lamanya. Padahal lo tau sendiri cuman dia yang gue punya, tapi dengan brengseknya lo hancurin itu." Lirih Putra, ia kembali mengingat di mana Meira tergeletak begitu saja di dalam kamar dengan keadaan tangan dan perut yang berdarah.
"Harus gue bilang berapa kali Put, kalau bukan gue yang ngelakuin itu. Emang benar kalau malam itu gue keluar dari kamar Meira, tapi cuman sekedar ngeliat keadaan dia, nggak lebih. Gue udah nganggap Meira kaya adek gue sendiri, jadi buat apa gue hancurin dia." Perjelas Ali pada Putra.
Saat itu, ia juga sama hancurnya dengan Putra. Meira, sosok adek yang selalu ia sayang harus menghadapi kehidupan kelam seperti ini.
Putra menatap sangar Ali lalu kembali memberikan pukulan di wajah cowok itu, membuat Ali tersungkur. Ali bangkit, lalu ia juga menyerang dan memukul Putra secara kasar dan beringas.
Prilly yang menyaksikan itu hanya bisa menangis dan meringis di buatnya. Ia tidak tau menahu perihal masa lalu Ali, cowok itu bahkan tidak menceritakan tentang masa lalunya.
"Udah! Aku mohon." Ucap Prilly lirih dengan air mata yang terus mengalir.
Bagai sirih, Ali menghentikan pukulannya pada Putra. Ia beralih menatap Prilly, yang juga menatap dirinya. Hati Ali hancur saat melihat keadaan kekasihnya, baju yang sudah terlepas sehingga menyisakan dalamannya saja. Di tambah lagi bibirnya membengkak serta nengeluarkan darah.
Dengan cepat Ali berjalan ke arah Prilly seraya melepaskan jaketnya lalu menutupkannya pada bagian depan tubuh Prilly.
"Maaf! Maaf gue nggak becus jagain lo." Ucap Ali dengan penuh penyesalan.
Prilly hanya diam. Ia tak berniat menjawab ucapan Ali. Ali melepaskan ikatan tangan dan kaki Prilly sambil terus mengatakan 'maaf'.
Saat Ali hendak memeluk Prilly. Cewek itu malah menahan tubuhnya dengan tangan.
"Pergi!" Lirih Prilly.
"Sayang, kamu kenapa? Aku tau aku salah karena semua ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak ada di dekat aku. Maaf."
"Penjahat! Pergi" Pekik Prilly seraya terus memukul dada Ali.
"Iya aku tau aku jahat, tapi jangan kaya gini Prill. Sekarang kita harus pergi." Ucap Ali saat hendak membantu Prilly berdiri tapi tangannya di tepis oleh cewek itu.
"Cewek lo udah tahu yang sebenarnya. Kalau ternyata bokap dari pacarnya pembunuh." Kata Putra dengan santai.
"Maksud lo apa?"
"Oh jadi anak dari seorang Hanif nggak tau kalau ternyata ayahnya pembunuh." Putra menejeda kalimatnya sebentar. "Biar gue yang kasih tau. Bokap lo yang udah ngebuat nyokap cewek lo mati, bajingan. Nggak heran sih gue, orang anaknya juga ngebunuh orang."
Ali terdiam membeku. Ia mencerna kalimat yang di ucapkan oleh Putra. Otaknya menolak keras kalau tentang fakta yang di ucapkan Putra.
"Prilly!" Teriak seseorang dari depan pintu.
Mereka bertiga langsung menoleh ke arah depan pintu. Di sana sudah ada anggota Vagos, Adam serta beberapa polisi yang sudah berjalan untuk menangkap Putra. Putra berontak saat tangannya di borgol oleh polisi, tapi polisi berhasil mengatasinya.
"Maafin papa nak, harusnya papa bisa jaga kamu lebih baik lagi. Maaf nak!" Adam memeluk Prilly erat.
"Saya udah kasih peringatan sama kamu buat jauhin anak saya. Tapi kamu malah ngebangkang, lihat sekarang apa yang sudah terjadi." Ucap Adam dengan nada sinis pada Ali. Ali hanya terdiam dengan penuh rasa bersalah dalam dirinya.
"Kita pulang sekarang. Masalah ini biar papa yang urus." Adam membantu Prilly berjalan tanpa berniat menatap Ali.
Anggota inti Vagos berjalan mendekati Ali. Mereka cukup prihatin dengan apa yang sudah terjadi saat ini.
"Cari tau semuanya dengan benar, sesuai fakta." Kata Revan seraya menepuk pundak Ali.
"Apapun masalah lo, kita akan siap buat ngebantu." Sahut Aksa, sambil memeluk Ali singkat.
Ali mengangguk. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti mereka, yang selalu siap kapan pun. Dan ia juga kecewa pada Hanif, karena merahasiakan semuanya.
_____
Kalau ada typo kasih tau ya. Maaf kalau ada salah kata atau penulisan. Mohon di maklumi.
Sebelumnya, jangan lupa vote, coment dan follow ya.
Coment yaa!!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.