Bab 3 - Rasa Takut Itu

6K 301 30
                                    


Sampai kapan pun rasanya cinta itu tidak sejalan dengan prinsip hidupku. Jadi, mengenalmu saja sudah cukup.

—Tentang Diana.

🕊️

Diana disambut wajah kesal Bianca. Bagaimana tidak kesal, Diana sama sekali tidak menghubungi Bianca lagi. Padahal Bianca harap-harap cemas menunggu kabar dari sahabatnya ini.

"Ini nih kalau udah bucin ya lupa sama sahabat dari orok."

Diana hanya terkekeh pelan sebelum akhirnya duduk di kursi samping Bianca dan melepaskan tas dari gendongannya.

"Dulu emang lo gak gitu ya sama Zemi?" tanya Diana membuat Bianca merenggut kesal karena Diana selalu saja mengungkit perihal itu.

"Na, udah lewat ah itu mah."

"Iya-iya, maaf."

Bianca mengangguk kemudian gadis itu memutar sembilan puluh derajat agar dirinya bisa leluasa menatap wajah sahabatnya. "Kabar om Adi gimana?" tanyanya. Bagi Bianca, papa Diana juga papanya dan sebaliknya. Persahabatan mereka yang cukup lama membuat keluarga mereka pun dekat.

"Papa baik, kok. Cuman kurang tidur dan banyak pikiran dan maag nya kena deh."

"Kalau baik-baik aja sih syukur. Dan sorry gak bisa jenguk ya? Terus bonyok juga lagi gak di rumah. Jadi, gak bisa jenguk juga."

Diana mengangguk paham. "It's okay. Lagian hari ini papa pulang kok. Gak tahu langsung kerja. Soalnya jiwa dokternya udah meronta-ronta."

"Dasar ya bokap lo dari dulu emang gitu."

"Iya, gak heran sih jadinya gue."

"Hiperaktif, tapi lembek kalau sama pacar." Bianca bicara dengan nada setengah mengejek.

"Bodoamat lah."

***

"Na, Na, Diana...."

Panggilan itu membuat Diana menghentikan tangannya yang tadinya menulis dan menoleh pada pemilik suara yang memanggil barusan.

"Kenapa, Von?"

"Anjjrrtttt... Gak suka ih! Jangan Von lah, Dev aja." Devon–pemilik suara tadi–bergeridik ngeri karena panggilan dari Diana.

"Iya, Dev, ada apa?"

Sebenarnya Diana malas jika harus menanggapi Devon karena dirinya sibuk mengerjakan soal pemantapan yang gurunya berikan.

"Kemarin si Agasa marah sama lo? Ngamuk gak?"

Diana mengernyitkan dahinya. "Kenapa nanya? Kok jadi kepo."

Devon melirik keadaan sekitar. Ketika dirasa keadaan aman karena ketiga sahabatnya–termasuk Agasa–sibuk mengerjakan soal akhirnya Devon berbisik, "Dari pagi si Agasa senyum-senyum gak jelas, Na. Kayak gila. Gue kira dia frustasi karena kemarin."

Sontak pipi Diana memerah.

Diana tahu Agasa bukan gila melainkan senang karena ungkapan cinta dari Diana. Bukan geer, tapi Diana sudah tahu tabiat Agasa.

Tentang Diana [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang