L i m a p u l u h

2.7K 178 7
                                    

Mengikhlaskanmu
_______________________________

"Rindu yang paling berat adalah ketika pertemuan kita terhalang oleh dinding kematian"

***

Seandainya Sashi tau jika tepat dihari ulang tahunnya ia harus kehilangan Kakaknya, maka ia tidak ingin hari itu tiba. Ia membenci hari dimana ia dilahirkan.

Saat ini Sashi sedang mengunci dirinya didalam kamar, ia tidak ingin keluar dan melihat seseorang menangisi Kakaknya. Sashi tidak ingin mendengar suara tangisan dan ucapan seseorang yang menyuruhnya untuk bersabar dan menerima kenyataan.

Jujur, Sashi sulit menerimanya.

"Kak Tio, aku butuh Kakak," ucap Sashi lirih.

Sashi duduk di samping tempat tidurnya dengan posisi memeluk kedua lututnya. Kepalanya ia telungkupkan dan menyembunyikannya dikedua lututnya.

Menangis tanpa ada lagi Kakaknya yang akan menghapus air matanya. Tidka ada lagi yang akan memeluknya disaat Sashi rapuh seperti sekarang.

Sashi mengenang segala momen kebersamaannya dengan Satrio. Dimana sebelum tidur ia mencium kedua pipi Kakaknya seperti anak kecil, dimana ia dimanja dan sangat disayang oleh Kakaknya.

"Kakak nggak mau kamu kenapa-kenapa, jadi kalau Kakak larang berarti itu demi kebaikan kamu."

"Kamu mau Kakak beliin apa?"

"Jangan tidur terlalu larut, nggak baik Sashi."

"Maafin Kakak Sashi, Kakak nggak bisa jagain kamu. Kamu bisa hukum Kakak, pukul Kakak sebanyak yang kamu mau. Bahkan Kakak rela menukar nyawa Kakak demi menjaga kamu."

"Heyy, Kakak nggak akan pernah ninggalin kamu. Walaupun nanti Kakak sudah meninggal Kakak akan selalu ada disamping kamu, jagain kamu."

ARGGGGGGGG

Sashi menjambak rambutnya sendiri, tubuhnya mati rasa. Hanya rasa sakit didalam hatinya yang sangat terasa sebab kehilangan Kakaknya.

Fakta Kematian Satrio sangat sulit Sashi terima. Ini mimpi bagi Sashi, mimpi buruk. Ia tidak rela Kakaknya meninggalkannya, Kakaknya adalah satu-satunya orang yang sangat menyayangi Sashi dengan tulus dikeluarganya.

Hanya Satrio yang selalu disamping Sashi dikala gadis itu sedang rapuh, bukan orang tuanya. Hanya Satrio yang sangat mengerti dirinya.

Tok tok tok

Sashi tidak menghiraukan ketukan yang berasal dari pintu, pendengarannya seakan tuli dari semua suara. Ia hanya merindukan suara Kakaknya.

Benua memasuki kamar Sashi menggunakan kunci cadangan yang tersimpan di laci kamar Satrio.

Benua duduk disamping Sashi, meraih kepala gadisnya dan memeluknya memberikannya ketenangan.

"Aku ingin Kak Tio." Gumam Sashi.

"Kak Ben, ini mimpi kan?"

Benua menitikkan air matanya, mendengar ucapan Sashi yang tidak bisa menerima fakta tentang Satrio.

Dengan hati-hati, Benua melepaskan dekapannya dan meraih dagu Sashi. Mengangkatnya dan menatap kedua mata Sashi yang penuh luka didalamnya.

"Shi, hidup dan mati kita ada ditangan Tuhan. Tak ada seorang pun yang bisa menghindar dan menghalau dari kematian yang sudah Tuhan takdirkan."

Air mata Sashi mengalir dari ujung matanya. Biar bagaimanapun seseorang mengingatkannya dan menyemangatinya, ia masih tidak bisa menerimanya.

"Kamu sayang sama Kak Tio?" Sashi diam. "Kalau kamu sayang sama Kak Tio, temui dia untuk yang terakhir kalinya. Shi, jangan kurung diri kamu. Hari ini hari terakhir kamu liat Kak Tio, kamu bisa sentuh Kak Tio, pergunakan waktu yang semakin singkat ini untuk melihat Kak Tio."

HERMOSOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang