Mungkin salah satu yang hanya bisa di lakukan oleh Ryhana adalah makan. Dan salah satu yang diinginkan oleh Ryhana adalah sate. Jika saja kekesalannya itu bisa di makan, mungkin saja Ryhana sudah mengunyahnya. "Lo nggak makan?" tanya Ryhana kepada Bara.
"Nggak lapar."
"Gue nggak tau apa yang biasanya lo makan di saat sedih. Tapi gue kalau lagi sedih biasanya makan sate. Dengan ini pikiran gue sedikit lebih tenang."
"Makanlah, kalau bisa tenang."
Tidak ada lagi yang di bicarakan oleh Ryhana. Sepertinya Bara tidak akan membantu sama sekali, jadi lebih baik dia diam. Nafsu makan Ryhana hilang saat satu nama terngiang di dalam pikirannya, Gama. Kejadian tadi pagi terus saja menghantui pikiran Ryhana, kejadian yang sangat menyakitkan.
"Mbah, tambah satu lagi," ujar Bara menambah pesanan.
"Katanya lo nggak mau makan sate, kenapa mesan?"
"Sate bukanlah sesuatu yang mampu membuat gue tenang, tapi itu berlaku buat lo. Gue nggak menyuruh lo untuk terlihat tegar, silahkan menangis tidak akan ada yang melarang."
Rasanya Ryhana bukan lagi menghirup oksigen melainkan kesedihan. Ryhana memegangi dadanya yang terasa sakit, namun gadis itu tidak mau menangis di tempat yang ramai ini.
Melihat sikap Ryhana itu, Bara melepaskan jaket yang di kenankannya. Kemudian jaket itu di berikan kepada Ryhana untuk menutupi wajahnya. "Gue nggak akan lihat. Jadi lakukanlah semau lo."
Tidak dapat dipungkiri lagi, setelah Bara mengatakan hal itu Ryhana langsung menagis dengan wajah yang tertutupi oleh jaket Bara. Ryhana semakin menagis kencang saat Bara memainkan suara music melalui ponselnya sehingga suara tangis Ryhana dapat tersamarkan oleh suara music.
Setelah puas menangis, Ryhana kembali memberikan jaket yang di gunakan untuk menutupi wajahnya tadi kepada sang pemilik. "Terima kasih, setidaknya gue merasa lega walau hanya sedikit."
"Habiskan makanan lo, jangan mubazir."
Sebenarnya Ryhana tidak berselera untuk makan, namun karena Bara terus mendesaknya memakan sate yang telah di pesannya itu akhirnya Ryhana memakan semuanya walau rasanya pahit. "Apa ini yang lo rasakan di saat Kak Caramel pergi, Bar? Maksud gue, lo jauh lebih tegar dari pada gue, yang bisa lo lihat sendiri kalau gue ini cengeng."
"Terkutuklah bagi mereka yang bilang begitu."
"Maksudnya?" tanya Ryhana tidak mengerti.
"Karena lo nggak berada di posisi gue, dan gue juga nggak berada di posisi lo. Setiap orang tidak akan pernah tau apa yang di rasakan oleh orang lain jika mereka mengalaminya."
"Gue pikir lo tegar, walau gue sering dengar lo bermain biola yang kadang menurut gue lo itu aneh, masa tengah malam bermain biola? Gue yang lagi enak bobok yang malah kaget mendengarnya.
"Itu hobby, bukan karena galau," sangkal Bara, walau pada kenyataannya di saat dia bermain biola dia sedang merasa kesepian. Semenjak kepergian Caramel, Bara tidak harus melakukan apa lagi. Bagi Bara, hidup hanyalah mengulang kegiatan yang sama setiap harinya dan itu sangatlah membosankan.
Ryhana menarik nafas panjang, dari tadi ia mencoba menahan agar tidak menangis lagi tapi sungguh, kejadian tadi pagi terus saja terngiang di otaknya. "Susah ya terlihat bahagia walau hati rapuh."
"Tidak meminta agar lo melakukannya. Jika tidak ingin kalah teruslah berlari, namun jika lelah berhentilah karena kemenangan bukanlah hal terpenting. Suatu saat lo juga bakalan bisa melupakan."
"Lo sudah bisa menjadi motivator." Ryhana mengambil ponselnya yang sedari tadi bordering. Di lihatnya siapa penelepon itu, namun saat mengetahui jika Gama yang menelepon, Ryhana segera mematikan ponselnya. "Masih jam sembilan, dan gue belum mau pulang saat ini."