[17] PENUH LUKA

417 14 0
                                    


"Semakin hati bersedih, semakin pula air mata terjatuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Semakin hati bersedih, semakin pula air mata terjatuh. Semakin menahan kesedihan, semakin deras air mata itu jatuh"


Drrtt...

Azelina segera menyambut ponselnya yang bergetar. Terdapat notifikasi panggilan dari nomor yang 'tak dikenal.

"Halo, siapa?" sapa Azelina menanyakan penelpon tersebut.

"Papahmu minta di jenguk, dia sedang sakit di rumah," ujar seseorang dari telepon itu, terdengar Ayunda yang berbicara.

Azelina memutuskan sambungan panggilan. Ia terdiam, apakah ia harus menjenguk orang yang sudah membuatnya terluka. Saat ia sakit saja 'tak mendapatkan belas kasih, dan berbalik mereka, berharap lebih tanpa memberi.

Wanita itu mengambil jaketnya, membuka laci dan mengambil amplop yang kemarin mereka berikan. Azelina mengendarai motornya, melaju di perjalanan mengarah ke rumah tujuan.

Sudah lama sekali rasanya Azelina tidak berpijak pada bangunan itu. Dimana tanaman hijau yang ia tanam, terlihat subur dan segar di depan.

Azelina perlahan-lahan masuk ke dalam. Ia melihat di ruang tamu yang terdapat sepasang suami-istri. Dengan kondisi Pria paruh baya itu lengah di kursi roda, dan Wanita selaku istrinya membawannya kedepan.

"Putri-ku, kema-ri-lah nak," ucap Daud berusaha menggerakkan jemari tangannya, meminta Azelina menemuinya.

Azelina berjalan mendekat, ia menunduk di depan Pria tersebut. Bagaimanapun ia membencinya, masih tertanam rasa sayang di hati Wanita tersebut.

Kulit yang berkeriput, bersama bibir yang pucat. Azelina menggenggam tangan Pria tersebut, hingga ia 'tak menyadari air matanya menetes.

"Kenapa bisa begini, siapa yang melukaimu?" tanya Azelina terpuruk pada kesedihan, bercampur dengan air yang menetes di matanya.

"Pa-pah deng-ar, kamu di-ber-henti-kan sek-o-lah, benar?" tanya Daud membelai rambut Azelina penuh kerinduan.

Azelina melirik kembali pada tatapan Pria itu. Darimana ia mengetahui bahwa Azelina keluar sekolah, seluas itukah berita yang di dapatkan.

Azelina menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha tersenyum walau sedang menangis. Tangannya yang 'tak henti menggenggam erat jemari Pria tersebut.

"Perbanyak istirahat, jaga kesehatan Papah," ujar Azelina untuk pertama kalinya lagi memanggil Pria itu Ayahnya.

Terlihat sebuah ukiran senyum di bibir Pria itu, seakan senang mendengar Azelina memanggilnya sebagai Ayah.

"Nak, Pa-pah bo-leh min-ta se-se-suatu," kata Daud menghentikan jemarinya untuk membelai kepala Azelina.

Azelina terdiam membisu, ia hanya mengangguk karena tidak yakin dengan permintaan Pria tersebut.

"Ting-gal kem-ba-li ber-sama ka-ka-mi, ber-sa-ma Pa-pah dan Ma-mah!" pinta Daud berharap Azelina menyetuji kehendaknya.

Azelina menoleh pada Ayunda, Wanita itu seketika memasang raut wajah 'tak menyukai ucapan Daud. Sesekali Azelina kembali pada tatapan Pria itu, ia berpikir untuk menjawabnya.

"Bukan maksudku menolak, hanya saja belum bisa menerima kembali untuk tinggal bersama. Maaf Pah!" jawab Azelina terus-menerus menggenggam jemari Daud.

Pria itu menerima jawaban Azelina, ia tidak bisa memaksa kehendaknya. Setidaknya, Azelina masih mengakui dirinya sebagai Ayah di mata Azelina.

"Pah, Azelina boleh ngomong berdua dengan istri Papah," ujar Azelina pada Pria itu, ada sesuatu hal yang ingin ia bicarakan dengan Ayunda.

Pria itu mengangguk dengan senyuman, ia di bawa oleh pelayan untuk di bawa ke kamar. Sedangkan Azelina berdiri menghadap Ayunda dengan tatapan lain.

"Uang kemarin. Masih ku simpan di laci kamar, untuk berobat Papah." Azelina memberikan amplop yang ia bawa, menjadikan uang itu sebagai biaya perobatan Daud untuk ke depan hari.

Ayunda menerimanya, menggenggam amplop itu di jemari kananya.

"Saya harap, kamu bisa sesering mungkin menjenguk Ayahmu," kata Ayunda sembari menghela nafasnya.

Azelina mencerna ucapan Ayunda, ia akan menjenguk Daud untuk hari berikutnya. Menemani Pria itu agar terus bisa tersenyum.

"Dokter bilang, Ayahmu mengidap Gagal Jantung semenjak kamu keluar dari rumah. Sekarang sudah stadium 2, mendekati stadium 3 nanti kamu jangan membuat beliau khawatir, saya tidak ingin hembusan nafas terakhirnya, beliau bersedih."

Ayunda meninggalkan Azelina di ruang tamu tersebut. Mendengar riwayat penyakit Daud, seketika ia merasa bersalah. Permintaan Daud yang sebelumnya ia tolak, namun bagaimana pula, hatinya masih menyimpan luka pada keluarga tersebut.

Azelina keluar, ia menghampiri motornya yang terparkirkan di halaman rumah tersebut. Wanita itu memasangkan helm ke kepalanya, menyalakan mesin motornya dan berangkat.

♧♧♧

Langkah kaki Azelina menjadi gontai, ia masuk ke dalam kamarnya tanpa rasa semangat. Mendudukkan dirinya di bawah lantai, dan di depan dinding.

Menikmati air mata yang terus mengalir ke pipi, hingga ke dagunya. Wanita itu mengangkat kedua lututnya ke atas, memeluk betisnya.

Hidupnya menjadi hancur mengingat kenangan di sekolah, di tambah dengan mendengar penyakit Daud, semakin membuat Wanita itu terpuruk.

Tok tok tok...

Terdengar sebuah pintu Azelina yang di ketuk. Azelina segera menghapus air matanya, tanpa memberi jejak di pipinya.

"MASUK!" teriak Azelina pelan.

Ternyata Luna yang berada di luar, ia masuk menghampiri Azelina. Melihat Azelina yang masih bersedih, Luna merasa tidak nyaman mengganggunya.

"Zel, gue udah tau siapa yang nyimpan Sertifikat itu di Tas lo," ucap Luna menepuk bahu Azelina perlahan.

"Siapa?" tanya Azelina mendongakkan kepalanya menatap Luna dengan mata yang merah.

"Komplotan kakak kelas yang gak suka lo, gue denger di kantin, mereka gibahin lo keras banget," kata Luna memeluk Azelina, berusaha membuat Wanita itu tetap tegar.

"Kalaupun kita bilangin ke Kepala sekolah, gak ada bukti kan," lirih Azelina kembali menangisi hidupnya yang begitu sedih.

Luna membelai rambut Wanita itu, sehingga suasana menjadi semakin buruk. Membuat Azelina kembali teringat dengan Ayahnya.

"Luna, gue mau curhat. Bokap gue kena Gagal Jantung, beberapa bulan lagi, dia bakal stadium 3," ucap Azelina membalas pelukkan Luna, membuat wanita itu ikut meneteskan air mata.

"Yang sabar ya Zel!"

Hari ini, Azelina lebih sedih dari hari yang kemarin. Sosok Alvino yang membuat benteng kebahagiaan, seketika runtuh di tambah oleh kesedihan yang baru.

Kali ini, Azelina lagi-lagi membutuhkan semangat dari Pria itu. Merindukan dukungannya yang begitu menyemangati hidup, merindukan senyumnya yang mampu membangkitkan kembali nyawa Azelina.

♧♧♧
BERSAMBUNG
(waiting for next part)

A Z E L I N A [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang