Yesha memandang Herlan dan Jingga yang sedang sibuk kesana kemari. Dia baru saja membangunkan 2 temannya yang kembali tidur selepas solat subuh tadi. Yesha yang tidak kembali tidur sejujurnya sudah berusaha membangunkan keduanya saat jam menunjukan pukul 6 tepat, sayangnya mereka malah melempar Yesha dengan bantal. Alhasil saat Yesha bilang jika sekarang sudah pukul setengah 7 lebih, Herlan dan Jingga langsung kelabakan. Jarak dari rumah sakit ke sekolah mereka memang tidak jauh, tapi pagi-pagi begini jalanan rawan macet.
"Enggak usah sekolah ajalah anjir". Jingga duduk di kursi setelah lelah mencari kaus kakinya yang hilang entah kemana.
Sontak Herlan yang mendengarnya langsung memukul kepala Jingga. "Ngomong sana sama Pak Burhan! Burulah enggak usah manja sia".
Yesha geleng-geleng kepala menatap 2 orang yang sudah rapih menggunakan seragam meskipun tidak sempat mandi. "Nih pake punya gue". tangannya menyodorkan sepasang kaus kaki.
Jingga tersenyum kemudian memeluk Yesha sambil melompat-lompat. "AAAAA EMANG MANEH TEH THE BEST PISAN!!! YA ALLAH SAYANG PISAN AING SAMA MANEH MUAAAHHH!!".
"Bangsat sia maaahh!" Yesha langsung mendorong Jingga setelah laki-laki itu mendapat ciuman di pipi. "Lo mah ah kebiasaan anjir!". Tangannya mengusap-ngusap bekas ciuman.
Sedangkan Herlan sudah tertawa sampai berguling di atas lantai. Jingga sekarang sedang di siksa habis-habisan oleh Yesha. Lagi pula di peluk saja Yesha tidak mau, apa lagi mendapat ciuman seperti tadi. Dia yakin bahkan Kakaknya pun tidak pernah berani mencium anak itu.
"Udah udah ahhh nanti telat beneran". Herlan menarik tangan Yesha setelah meredakan tawanya.
"Ya Allah urang teh masih hidup?". Jingga mendudukan dirinya sendiri dengan tampilan yang sudah acak-acakan.
"Berani lo sama gue hah? Sekali lagi cium-cium abis bibir lo gue parut".
Jingga mendelik. "Nyenyenyeee....".
"Jingga...".
"Enggeus (udah) eh Ya Alllah nanti maneh pusing lagi Yesha, dah sana balik ke tempat tidur. Jingga buru hudang (cepet bangun) kita berangkat". Herlan menggiring Yesha, ngeri takut-takut infusannya malah tercabut nanti.
Jingga pun beridiri, menepuk-nepuk sergamannya yang sedikit kusust akibat ulah perbuatan Yesha. "Maneh hari ini balik?". Tanyanya sambil memakai sepatu.
"Iya, di jemput Bang Lucas sama Kak Juna nanti".
"Yaudah cepet sembuh pisan ini mah asli. Gue tunggu di sekolah ya?". Jingga menepuk bahu Yesha sebelum membawa jaket dan helm yang sebenarnya milik Yesha.
Herlan ikut mendekat kemudian mengacak rambut sahabat dari kecilnya. "Gue sekolah dulu, kalo udah di rumah kabarin ya". Yesha hanya mengangguk. "Jangan nakal".
"Emang gue anak kecil?".
"Iya lo anak kecil". Herlan tertawa kemudian langsung menarik tangan Jingga, takut di amuk bayi.
"Ehhh dadah Yesha!!!!". Jingga melambaikan tangannya sebelum menutup pintu.
---
Ruangan yang Yesha tempati seketika langsung terasa sepi. Hanya terdengar suara orang-orang dari luar. Karena penasaran dia menggeret tiang infusan yang tinggal sedikit kemudian mengintip keluar ruangan. Tidak ada yang menarik, hanya beberapa pasien seperti dirinya juga beberapa perawat yang sibuk berlalu lalang. Atau mungkin orang-orang yang sedang menunggu pasien yang terlihat saling mengobrol. Dia bosan.
"Ngapain?".
"Anjir!". Yesha terkejut saat tiba-tiba Kenan berdiri di depannya.
Kenan memukul bibir Yesha. "Mulutnya".
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Yesha || Liu Yangyang
FanfictionMenjadi bungsu dari 7 bersaudara terkadang membuat orang lain menganggap hal tersebut hanyalah omong kosong. Di jaman sekarang, siapa orang tua yang memiliki banyak anak? Jawabannya adalah keluarga Alwira. Meskipun bukan satu-satunya keluarga dengan...