59 : Pulang

2K 267 150
                                    

Suara tangis yang memenuhi sebuah rumah terdengar memilukan begitu ambulance yang mengantar Ayah sampai. Semua larut dalam duka yang mendalam terutama untuk Kakek dan Nenek. Kenan dan adiknya yang lain turun dari mobil yang menjemput mereka tadi. Suasana penuh duka terasa kuat sekali, semua orang menangis. Mengeluarkan air matanya karena harus kehilangan sosok Ayah. Yesha yang semula sudah bisa tenang mau tidak mau kembali larut dalam duka. Dia kembali menangis saat peti keluar dari dalam ambulance. Rasanya masih seperi mimpi saat dia harus kehilangan Ayah.

Kenan, Tresna dan yang lain mengangkat peti untuk masuk ke dalam rumah. Mereka bisa mendengar bagaimana tangis pilu Nenek yang harus kehilangan putra terhebatnya. Semua orang merasa kehilangan, semua orang laurt dalam kesedihan dan semua orang pasti tidak mau melihat orang yang kita kasihi harus pergi secepat ini. Namun semua itu sudah di takdirkan oleh Tuhan, setiap nyawa yang hidup pasti akan mati jika sudah saatnya tiba. Memang berat, sulit sekali mengikhlaskan mereka untuk pergi. Sebagai manusia yang mengikuti garis takdir kita tentu tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi. Mengikhlaskan, mendoakan dan membiarkan mereka pergi dalam keadaan tenang.

"Yesha mau ikut nganter Ayah nanti atau mau disini? Kalo masih belum kuat, Yesha boleh istirahat sama Hamas." Kenan mengusap air mata sang adik yang masih turun membasahi pipinya.

"Mau ikut, boleh kan?"

"Boleh, tapi adek yang kuat ya?"

"Mas... Ayah abis ini bahagia kan? Enggak sakit lagi kan?"

"Ayah pasti bahagia, kita doakan supaya Ayah khusnul khotimah ya? Udah dong jangan nangis terus, nanti cape adeknya."

Tapi bukannya berhenti tangisan Yesha malah semakin menjadi-jadi. Dia kembali sesenggukan padahal tadi dia sudah cukup tenang. Kenan pun kembali memeluk sang adik berharap dia bisa memberikan rasa aman untuknya. Sedikitnya dia mengerti karena Yesha menang sedekat itu dengan Ayah. Pasti sulit untuk menerima bahwa Ayah sudah pergi ke sisi Yang Maha Kuasa.

"Mas mi— eh nangis lagi?" Hamas datang setelah dia mencari minum untuk Yesha, "Ini minumnya.."

"Makasih ya? Yang lain dimana? Udah salaman sama Nenek, Kakek?"

"Udah, sebentar lagi juga kesini. Nanti abis Ayah di makamin kita ke hotel boleh gak Mas?"

"Kenapa emang? Gak mau nginep disini dulu?"

Kepala Hamas menggeleng. "Enggak nyaman rasanya Mas, tadi aku sama Juna juga udah bilang sih, kayak canggung aja. Terus beberapa orang kayak enggak welcome, takut aku."

"Iya, nanti kalo udah selesai kita pulang ke hotel."

Bukan maksud Kenan tidak peduli atau terkesan enggan bertemu dengan saudara jauhnya. Namun entah kenapa mereka tidak bisa dekat dengan keluarga dari Ayah. Selain faktor jarak yang terlalu jauh sehingga membuat mereka jarang bertemu, rasa canggung kerap menyelimuti mereka dan itu membuat Kenan dan adiknya merasa tidak nyaman. Lain halnya dengan keluarga Ibu, mereka bisa dekat bahkan tidak pernah canggung sama sekali. Meskipun sifat Ibu seperti itu, saudaranya yang lain untungnya tidak ada yang memiliki sifat yang sama. Jadi Kenan langsung mengiyakan begitu Hamas meminta pulang ke hotel sebelum mereka kembali ke Bandung nanti.

Setelah serangkaian proses dari mulai memandikan jenazah sampai menyolatkan jenazah selesai, akhirnya setelah adzan dzuhur Ayah di semayamkan di TPU dekat rumah. Kenan, Tresna dan Lucas ikut mengantar Ayah sampai liang lahat sebagai tanda bakti terakhir mereka. Sedangkan yang lain masih berusaha menjaga si bungsu yang terlihat lemas setelah menyolatkan Ayah tadi. Anak itu bahkan tidak berhenti menyebut nama Ayah berkali-kali. Winar sampai harus menjauhkan Yesha padahal prosesi menyolatkan jenazah belum selesai tadi.

Diary Yesha || Liu YangyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang