7 : Cerita Hari Ini

2.4K 356 6
                                    

Selepas Isya, Herlan yang berkata akan menginap di rumah Yesha menepati ucapannya. Namun bukannya datang seperti biasa, Herlan malah tertawa sesaat setelah membuka pintu kamar sahabatnya. Saat datang tadi hanya ada Hamas yang membukakan pintu, kemudian Herlan di persilahkan untuk masuk saja ke kamar Yesha. Tentu laki-laki yang sudah hafal seluruh seluk beluk di rumah ini langsung berlari menuju kamar yang di tuju. Sayangnya pemandangan Yesha yang sedang duduk di atas kasur dengan keadaan yang mengenaskan membuat tawa Herlan pecah. Sontak membuat Yesha melemparkan bantal kesayangannya pada Herlan.

"Keluar sana kalo mau ketawa". Yesha mendengus.

"Aduh maap... maap". Herlan berjalan setelah meredakan tawanya. "Kenapa sih kok makin bonyok? Perasaan si Esa nonjok di pipi doang".

Yesha menatap Herlan dengan pandangan nelangsa. "Jatoh di kejar bison terus kesandung polisi tidur di depan, gelindingan gue".

"Bang Lucas?".

Yesha mengangguk. "Siapa lagi? Yang badannya gede dia doang".

Herlan kembali tertawa membayangkan tubuh kurus kerempeng Yesha mencium aspal jalanan kompeks perumahannya. "Lagian ada-ada aja". Kepalanya menggeleng. "Laper euy gue".

"Lo dateng kesini cuma buat numpang makan ya?".

Herlah memamerkan giginya. "Hehehe ya apalagi atuh Yesh. Si Mama sama si Baba belum pulang. Sedih banget gue berasa anak pungut".

"Enggak gitu". Yesha merengut merasa bersalah. "Maaf ya Herlan".

"Santai, gak apa-apa".

Yesha terdiam untuk sesaat, dalam hatinya dia tau meskipun Herlan berkata bahwa dia baik-baik saja, kenyataannya anak itu pasti selalu merasa kesepian. Memiliki orang tua yang bekerja di bidang bisnis sering kali membuat Herlan merasa di anak tirikan. Kedua orang tuanya workaholic, susah menyempatkan waktu barang untuk beristirahat sehari saja. Herlan dulu tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun saat menginjak bangku SMP dia mulai merasa kehilangan kedua orang tuanya.

Saat kecil jika orang tuanya membelikan mainan untuknya Herlan merasa sudah cukup. Dia menganggap bahwa orang tuanya menyayangi Herlan seperti orang tua lainnya. Namun semakin lama dia juga paham bahwa kasih sayang orang tua tidak cukup hanya dengan sebuah mainan. Herlan sering iri dengan teman-temannya yang di antar jemput orang tua, di buatkan bekal atau jika di akhir pekan mereka menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Sementara Herlan hanya bisa menikmati waktu bersama orang tuanya 1 bulan sekali, itupun jika keduanya sedang tidak sibuk. Maka rumah Yesha sering di jadikan pelarian olehnya, bahkan kamar Yesha sudah di anggap seperti kamarnya sendiri karena dia yang terlalu sering menginap. Ayah dan Ibu pun tidak pernah mempermasalahkannya karena mereka paham bagaimana kondisi keluarga Herlan yang sudah di anggap keluarganya itu.

"Herlan mau cerita?". Yesha terlampau paham jika sahabatnya sudah membawa-bawa masalah orang tua pasti dia ingin becerita.

Yang di tanya menggelengkan kepalanya ragu-ragu. "Udah mau sebulan mereka enggak pulang. Kangen Yesh...".

Yesha mengelus punggung Herlan yang sedang tengkurap di sebelahnya. "Kan Herlan bisa kesini, bisanya juga gitu. Kenapa baru dateng?".

"Gue ngerepotin enggak sih? Apa karena gue suka ngerepotin mereka ya jadinya mereka enggak pulang-pulang".

"Enggak Herlan, gak ada orang tua yang ngerasa di repotin anaknya. Atau kalo kamu ngerasa ngerepotin aku, jawabannya enggak pernah tuh aku ngerasa di repotin. Mungkin mereka memang lagi sibuk... sibuk... sibuk banget".

"Tapi... dari dulu Yesha, mereka pergi ninggalin aku".

Yesha ikut telungkup dengan tangan yang tidak berhenti mengelus Herlan. "Enggak di tinggalin Herlan, mereka cuma pergi tapi nanti ujungnya pasti pulang. Kamu harus percaya sejauh apapun mereka pergi, rumahnya tetap kamu. Anak kesayangan mereka, Herlan si anak cerdas. Buktinya sekarang bisa jadi ketua OSIS kan? Malem ini kamu emang lagi overthinking aja. Tapi enggak apa-apa, namanya juga manusia".

Diary Yesha || Liu YangyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang