Ruang tv yang biasanya hangat sekarang berubah menjadi sedikit lebih kaku. Di depan mereka ada sebuah undangan yang tergeletak begitu saja. Setelah ke-5 orang itu mendengar penjelasan dari Hamas dan Yesha juga membaca sebuah undangan yang membuat kepala terasa mendidih, belum ada yang berani membuka suara. Bahkan Kenan yang masih mengenakan celana sayur dan kemeja pun bingung harus memberi reaksi seperti apa dan bagaimana. Ini bukan lagi masalah yang sepele yang bisa di selesaikan dengan kalimat "tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja" karena Kenan tau, mereka sedang dalam kondisi tidak baik.
"Jadi..." Juna menatap saudaranya yang lain. "Kita harus gimana?"
"Ya gimana ya?" Lucas menatap kosong undangan di atas meja. "Jadi apa itu pager bagus kali."
"Yang bener Lucas." Winar menegur.
"Ya terus mau gimana lagi?"
Kenan menghela nafas sebelum menjawab. "Mas enggak akan ngelarang kalian buat marah. Tapi tolong marah sewajarnya aja ya? Mau hitam atau putih pun dia tetap seorang Ibu. Mas berusaha mengerti kalau kalian marah karena Mas pun begitu. Perihal mau ada yang datang atau enggak, Mas kembaliin ke kalian. Mau atau enggak Mas gak akan ikut campur."
"Aku enggak mau dateng." Ucap Yesha.
Enam pasang mata langsung menoleh ke arah Yesha yang sedang menatap langit-langit ruangan. Sejujurnya mereka tidak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulut Yesha. Mereka malah berpikir dengan kelapangan hati Yesha, mungkin anak itu akan mau-mau saja pergi ke pernikahan Ibunya nanti karena selama ini hanya Yesha yang masih bisa mentolerir sikap Ibu.
Namun di sisi lain mereka juga paham, mungkin ini titik batas kesabaran Yesha. Siapa juga yang tidak sakit hati saat seorang anak sudah tidak di akui oleh Ibu kandungnya sendiri. Kalau kata Hamas, saat di jalan pulang tadi Yesha bahkan terus menggerutu tentang sikap Ibu hari ini. Mungkin karena itu juga dia enggan datang ke acara pernikahan Ibu nanti.
"Mas Kenan sampe Bang Winar aja yang dateng kalo gitu." Ucap Lucas. "Sisanya enggak usah."
"Enggak mau." Winar langsung menolak.
"Biar Mas sama Mas Kenan aja yang pergi." Tresna berusaha menenangkan suasana yang sudah cukup menegangkan.
"Aku ikut." Hamas tiba-tiba mengacungkan tangan. "Lumayan makan gratis, buat konten tiktok juga. Makanan yang di makan selama kondangan check."
Juna yang kesal melihat adik beda 1 tahunnya itu langsung melempar bantal. "Dasar lo bocah alay!"
"Dih sirik lo?"
Yesha hanya menatap malas 2 Kakaknya yang sudah beradu bantal di depan matanya. Apa mereka tidak lelah ya setiap berdekatan pasti ada saja bahan pertengkaran yang di buat? Yesha yang hanya melihat saja sampai lelah sendiri. Tapi jauh di balik itu, Yesha kadang bertanya-tanya, apa Kakak, Mas dan Abang tidak pernah sedih atas apa yang di lakukan Ibu? Atau apa karena mereka harus menjaga perasaannya sehingga semua orang harus berusaha terlihat baik-baik saja?
Padahal jika semua Kakaknya merasa marah pun Yesha kan mengerti. Alih-alih mendapat jawaban, dia malah semakin heran. Bisa-bisanya suasana yang tadi tegang sekarang sudah mencair seperti biasa.
"Kalian enggak ada yang marah?"
Pertanyaan Yesha berhasil menghentikan pergerakan Winar yang semula akan menjewer Hamas. Dia pun menoleh ke arah adik bungsunya kemudian menoyor kepala Hamas sebagai ganti atas perbuatannya tadi.
"Kenapa kamu nanya gitu?" Tanya Tresna.
"Abisnya Mas, Abang sama Kakak enggak keliatan marah. Aku kadang bingung, kalian sebenernya sedih enggak sih? Marah enggak sama Ibu? Atau kalian pura-pura baik-baik aja biar aku enggak kepikiran?"
![](https://img.wattpad.com/cover/240670314-288-k951142.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Yesha || Liu Yangyang
FanfictionMenjadi bungsu dari 7 bersaudara terkadang membuat orang lain menganggap hal tersebut hanyalah omong kosong. Di jaman sekarang, siapa orang tua yang memiliki banyak anak? Jawabannya adalah keluarga Alwira. Meskipun bukan satu-satunya keluarga dengan...