27 : Dasar Bayi

2.8K 310 50
                                    

"Makan sini". Ucap Hamas yang baru kembali membawa nampan berisi makananannya dan makan milik sang Adik.

Yesha menoleh kemudian berjalan menghampiri Hamas yang sudah duduk di atas karpet. Mengerti dengan mood Yesha yang masih jelek, Hamas pun berinisiatif menyiapkan makanan milik Yesha, jika di fikir-fikir dia ini sudah seperti pengikut setia, di suruh apa saja pasti manut.

"Makan yang bener biar moodnya enggak jelek lagi". Kata Hamas berusaha menyemangati Adiknya. "Jangan terlalu di fikirin Yesha, semua orang bisa nilai juga gimana penampilan kamu tadi".

"Hmm...".

'Lo kalo bukan Adek gue terus gak lucu udah gue masukin lagi ke perut Ibu sumpah deh'. Hamas membatin. "Kamu mau apa sok bilang biar enggak bt, itu juga kinder joy dapet sepack gitu kan".

"Enggak mau apa-apa Kak".

"Tapi kamunya bt gitu kan aku sepet liatnya".

"Ya enggak usah di liat".

'Elu ada di depan gue sutisna'. Sekalagi lagi Hamas membatin. "Bodo amat".

Yesha hanya mengangkat bahunya, memilih untuk tidak memperdulikan raut kesal Hamas. Dia memilih fokus memakan nasi saja, tapi bukan tanpa alasan dia terdampar di kamar Hamas sekarang. Jika Yesha masuk ke dalam kamar Tresna, Kenan, Juna atau Winar pasti dia sudah di cecar dengan kalimat tidak boleh sedih, kamu sudah hebat atau kalimat semacamnya yang lain, Yesha sedang tidak ingin mendengarnya. Sedangkan jika dia ada di kamar Hamas dia bisa menjahili Kakaknya, biasanya cara itu ampuh membuatnya lebih baik. Tapi sayangnya sampai mereka selesai makan pun perasaan Yesha sama sekali tidak berubah.

Sejujurnya dia ingin sekali marah apa lagi setelah dia melihat bagaimana anak yang memenangkan lomba musiknya terus di peluk oleh orang tuanya. Yesha tidak masalah jika dia tidak menjadi pemenang, menjadi juara ke-2 pun sudah cukup. Namun di kalahkan dengan orang yang jelas-jelas melakukan kesalahan rasanya itu bukan keadilan yang dapat dia terima. Padahal jelas-jelas peserta yang lain lebih bagus darinya. Melihat peserta nomer 4 tadi ketakutan saat melihat orang-orang yang protes, Yesha sudah bisa menyimpulkan bahwa apa yang di curgai orang-orang memang benar adanya dia menang karena campur tangan orang tua. Tidak aneh sih, siapa yang berkuasa dialah pemilik uang yang serba bisa.

"Ganti baju dulu ya? Kakak bawain". Hamas menepuk bahu Yesha yang sedang melamun.

"Iya". Jawabnya singkat.

Hamas baru saja akan keluar sebelum pintu kamarnya terbuka, ada Lucas yang membawa plastik di tangan. "Ngapain?".

"Bawa baju Yesha, kata Juna belum ganti baju dia".

"Itu apa?". Hamas menunjuk plastik yang di bawa Lucas.

"Jajanan". Lucas meletakan plastik hasil dia merampok mini market. "Adeknya Abang ayo ganti baju dulu".

Yesha menerima baju yang di bawa Lucas kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti baju.

"Dia enggak nangis?". Lucas menatap Hamas yang sudah anteng membuka ciki. Hamas menggeleng. "Marah-marah?". Hamas menggeleng lagi. "Terus?".

Hamas menatap Lucas dramatis. "Lo pernah tau level terserem dari orang yang bad mood?". Lucas menggeleng. "Cuma diem, dia dari tadi diem, ngelamun, diem lo tau enggak sih dia cuma diem, gue serem sumpah".

"Abang...". Yesha memanggil Lucas.

"Kenapa Dek?". Lucas menatap Yesha yang hanya diam di ambang pintu kamar mandi. "Kenapa?".

Yesha tidak menjawab tapi dia berjalan ke arah Hamas dengan bibir mencebik ke bawah.

'Wah tanda-tanda banjir bandang nih... 1...2...3...". Hamas menghitung dalam hati.

Diary Yesha || Liu YangyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang