Bagian 32

14.5K 820 59
                                    

Semilir angin berhembus pelan melewati jendela yang setengah terbuka itu. Awan gelap dan cahaya lampu berderet dari luar juga menerobos kaca jendela yang setengah terbuka itu hingga memasuki ruangan.

Hari sudah malam, namun belum larut. Baru beberapa menit yang lalu senja sore hari masih terlihat. Sekarang bumi di kota Jakarta sudah tidak terang dengan cahaya matahari lagi, biarkan sang surya beristirahat. Besok ia kembali bersinar. Dan kini gemerlap lampu yang menggantikannya.

Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih dua menit. Dan lelaki yang sudah bersih dengan pakaian gantinya itu menyeret kursi di ruang kerja rumahnya, setelahnya ia duduk.

Baru beberapa menit laptop di atas meja itu dibuka, notifikasi pesan dari akun email-nya muncul. Beberapa pesan dari manajer kafe nya. Memang tugas nya hari ini setelah pulang dari bekerja adalah menyempatkan waktu untuk urusan Kafe. Dan sekarang pria dengan kaos santainya bewarna hitam itu sibuk dengan jari-jari tangan yang mengetik dan menggulir layar latop-nya dengan cursor.

Ia merasakan hawa malam terlalu dingin untuk masuk melewati jendela ruang kerjanya. Samar-samar membuat kulitnya sedikit lagi menggigil. Ia memang tidak suka dingin. Tetapi sebentar, ia akan selesaikan urusan dalam benda didepannya dulu. Setelah itu ia akan menutup jendela.

Laptop yang terbuka itu di tutupnya penuh setelah ia menyelesaikan pekerjaannya disana. Dan ia segera bangkit untuk menutup jendela.

Ada hal yang menarik perhatiannya, ketika kedua matanya tidak sengaja menangkap foto yang terpajang di rak bagian atas di samping jendela ruangan itu. Ia raih potret berbingkai itu dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya kemudian sedikit sibuk untuk menutup jendela kaca.

Pria bertubuh tegap ini terduduk di kursi tanpa punggung. Disamping Jendela yang tertutup ia mengamati foto itu dengan senyumnya yang mengembang samar. Ada rasa rindu yang selama ini tak terucap, namun hanya ia yang bisa merasakan.

Foto itu, mengingatkannya pada sosok yang ada disana. Ada beberapa orang dalam foto itu, tetapi yang matanya tuju adalah salah satu dari wajah pada potret itu, Papanya. Pria yang ia kagumi, sosok Ayah yang mengajarkannya banyak hal. Seseorang yang selalu mengedepankan kejujuran dan tanggung jawab.

Mungkin banyak orang menganggap uang adalah segalanya, tetapi bagi Hasan itu semua akan kalah jika jujur dan tanggung jawab hanya dikalahkan oleh beberapa lembar kertas yang bisa dicari. Hasan terlahir dari keluarga mampu, tetapi setelah menikah ia memilih untuk hidup mandiri bersama istri dan anak-anaknya, tanpa ingin menumpang tempat tinggal di rumah orang tua ataupun mertuanya. Dan dengan itu ia mengajari anak-anak mereka banyak hal tentang kehidupan.

Ali salah satunya. Ia memang anak terakhir, tetapi bukan berarti anak terakhir dan satu-satunya berjenis laki-laki sangat dimanja oleh orang tuanya. Dari kecil disiplin adalah tanggungannya. Dan mencari uang adalah tanggung jawabnya.

Waktu Ali masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Hasan pernah mengatakan hal pada putra satu-satunya itu, 'Kamu laki-laki, harus bertanggung jawab, bisa dipercaya terus bisa cari uang. Harus itu'

Banyak hal yang Ali dapatkan dari ayahnya. Sama seperti orang tua pada umumnya, Hasan punya cara sendiri untuk putra maupun putri-putrinya. Karena Ali laki-laki, jelas ia berbeda dengan kedua kakaknya. Meskipun ia anak terakhir, tidak ada hak-nya sama sekali untuk dimanja.

Jika Zoya dan Keysha didikannya lebih santai dan lembut, Ali harus berbalik. Gemblengannya harus lebih keras, serius, tidak banyak bertele-tele dan harus mandiri.

Alhasil tekadnya kini kuat, mulai dari yang awalnya menolak untuk meneruskan Kafe dan Cabangnya, memutuskan untuk bekerja di perusahaan milik Ayah Hiro dan membeli rumah dua tahun lebih lalu yang di desain sendiri oleh ibunya. Kalau mobil yang sekarang ia pakai adalah hadiah, pemberian saat setelah ia sudah meraih gelar Magister.

NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang