Bagian 35

15.1K 715 116
                                    

Hari ini bukan hari yang cerah. Bukan juga hari yang begitu gelap atau suram. Sejak pagi hingga kini matahari belum juga menunjukkan sinarnya. Awan berwarna putih, sepertinya hujan juga tidak ingin turun. Seolah hari masih bimbang untuk menentukan sikapnya.

Nadira berdiri di samping jendela ruang tidurnya. Menatap kosong menuju arah luar hampir tanpa berkedip. Semilir angin yang lembut masih mampu meniup kelambu putih yang menutupi jendela dari dalam.

Waktu menujukkan pukul delapan pagi. Sudah hampir setengah jam yang lalu perempuan tanpa jilbab itu berdiri disana. Ia melamun, memenungkan tentang apa saja yang terjadi selama ini.

Tetapi sudahlah. Terkadang kita terlalu berharap, yang membuat ekspetasi berangan terlalu jauh. Dan hasilnya sangat minim bahkan diluar dugaan. Atau kadang kita sudah lelah, hanya pasrah tak berdaya hingga beranggapan hidup tanpa tujuan.

Nadira berpikir lagi. Mungkin semua ini sudah alurnya. Tak ada jalanan yang selalu lurus tanpa berbelok, dan liku-likunya tak selalu aspal yang di tempuh, namun juga bebatuan. Mungkin akhir-akhir ini ia sudah lama melewati masa yang membuat hatinya bersukacita, dan kini ia kembali merasa pilu.

Sudah satu minggu yang lalu dan ucapan Ali masih terngiang. Nadira benar-benar mengikuti perintah Ali untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya. Mukai dari makan, kontrol, cuci darah ke rumah sakit ia tidak ikut-ikutan. Bukan karena tidak peduli, tetapi permintaan Ali memang begitu.

Sampai saat ini ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ali saat itu hingga tiba-tiba berbicara begitu. Memutus semua perjanjian dan usaha Nadira selama hampir dua bulan. Dan satu hari itu sampai saat ini, sikapnya kembali membeku. Hampir tidak ada percakapan antara dia dengan Nadira.

Padahal disini ada yang masih mengganjal dalam hatinya. Kenapa tiba-tiba dia begitu? Karena kesalahan apa sebenarnya? Kalau saja Ali bisa berbicara apa alasannya, mungkin pikiran Nadira tidak sekalut ini. Dan kalau memang Nadira yang salah, ia akan berusaha meminta maaf.

Ditariknya nafas dalam-dalam lalu membuangnya pelan. Ia tidak boleh larut seperti ini. Dia harus bersikap biasa saja di depan semua orang. Dan memang hanya tempat ini ia tumpahkan segala rasa sesak yang menghantamnya. Tampat yang ia tidak tahu, berapa lama lagi dia masih berada disini.

Tok tok

"Mbak Dira"

Suara ketukan dan panggilan itu berasal dari depan pintu kamar tidurnya. Ia segera berjalan dan meraih gagang untuk membuka pintu.

"Iya, Mbok?"

"Loh, Mbak" Mbok Inem berbalik badan

Nadira mengernyit heran

"Kenapa, Mbok?"

Belum juga berbalik, Mbok Inem menjawabnya sambil membelakangi Nadira.

"Mbak Dira kok ndak pakai kerudung? Memangnya saya boleh lihat?" Tanyanya cemas

Nadira melengkungkan bibir ke atas namun tak sempurna.

"Ndak apa-apa, Mbok. Kan Mbok Inem bukan lawan jenis saya"

Mbok Inem perlahan berbalik. Ia meringis ke arah Nadira yang kini memang hanya memakai rok dan kaos panjang tanpa jilbab. Karena memang ia tahu kalau yang datang Mbok Inem.

"Aduh. Maaf ya, Mbak. Saya itu ndak pernah lihat Mbak Dira copot kerudung. Ndak biasanya gitu, Mbak" Senyumnya mengembang

"Iya. Nggak apa-apa, Mbok" Kata Nadira "Oh iya. Ada apa ya, Mbok?"

Mbok Inem menepuk dahinya. Ia lupa kalau ia akan menyampaikan sesuatu. Nadira masih menunggunya berbicara.

"Ada tamu, Mbak"

NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang