Nb : Bacanya pelan-pelan, ya. Jangan terlalu terburu-buru. Karena setiap paragraf adalah karangan. Terima kasih.
Perempuan berjilbab instan itu duduk pada kursi di ruang tidurnya. Ia menatap detik jam yang tak berhenti bergerak di meja. Sudah sejak lima belas menit berlalu ia hanya diam. Namun sebenarnya pikirannya berkutat menuju berbagai macam arah.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh menit. Hawa hatinya tak karuan, tetapi ia akan mencoba untuk tetap tenang dan berpikir, bagaimana caranya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini.
Waktu yang sudah ditentukan oleh penulis dalam surat itu kurang beberapa saat lagi. Dan Nadira sudah tidak perlu memikirkan untuk menghadapinya atau tidak. Tetapi kini ia mulai mencari cara, bagaimana agar bisa keluar dari rumah ini tanpa Mbok Inem dan Satpam rumah tahu.
Sebenarnya Nadira juga takut. Tetapi yang ada dalam pikirannya sekarang bukan dirinya lagi, melainkan keluarganya. Ia ingin masalah ini cepat selesai hingga tuntas. Dan baginya ini adalah jalan terbaik.
Nadira meraih dompet kecil pada laci meja. Kemudian membukanya dan mengeluarkan sebuah kartu kredit bewarna gold. Ia meletakkan benda itu di atas meja. Ya, benda itu adalah pemberian dari Ali. Sebut saja sebagai nafkah lahir yang Ali berikan setelah menikah.
Perempuan itu menepuk-nepuk dadanya yang tidak tenang. Rasanya berat sekali untuk menghadapi itu seorang diri. Tetapi jika tidak, dia dan keluarganya akan terancam.
Setelahnya perempuan itu melepas cincin pernikahan dan gelang yang diberikan Ali saat ulang tahunnya waktu itu. Tetapi sebenarnya ada apa? Kenapa harus meninggalkan benda-benda itu? Entah Nadira juga tidak mengerti, ia tidak tahu apa yang terjadi nanti, oleh karenanya ia tidak bisa berpikir positif.
Wanita itu segera berdiri dari kursi duduknya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Dan ia harus cepat-cepat mencari cara.
Nadira beralih untuk keluar dari ruang tidurnya. Berjalan menyusuri anak tangga menuju ruang makan.
"Oh, jadi hari ini Mas Ali mau keluar kota, toh."
Ia ingat malam ini Ali akan keluar kota pukul setengah sebelas malam. Tetapi ini sudah hampir waktunya, apa memang pria itu sudah berangkat? Atau bahkan belum pulang sejak dari kantor? Karena sejak tadi ia tidak mendengar suara mobil yang datang.
Nadira memutuskan untuk duduk pada salah satu kursi ruang makan. Dari sana ia bisa melihat pintu utama rumahnya terbuka satu sisi sejak tadi. Sekarang ia mencoba untuk berpikir lagi, bagaimana caranya untuk keluar dari sana.
Tap tap tap tap.
Suara tapak kaki yang terdengar cepat itu tidak membuatnya menoleh. Ia sudah tahu yang datang adalah Ali. Oleh karena itu ia hanya mencoba fokus dengan pikirannya. Tetapi kenapa langkah kaki Ali tidak berbelok ataupun menaiki tangga? Meskipun Nadira tidak menengok, ia bisa tahu kalau Ali semakin dekat mengarah padanya.
Ya, ia tidak salah. Pria itu berdiri tepat di depannya. Mereka berdua hanya terhalang oleh meja makan.
Nadira akhirnya menoleh. Ali juga melihatnya.
"Aku mau ngomong."
Entah mengapa dada Nadira berdesir panas. Sudah berhari-hari ini mereka tidak saling bicara, dan saat Ali mengawali untuk membuka suara, mengapa Nadira merasa sudah berbeda.
Perempuan itu mengangguk. Namun lisannya sangat kaku untuk mengiyakan. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah kejadian beberapa jam lalu, tentang Kiara yang mencoba memintanya untuk mundur. Lalu, apa semua itu akan Ali tegaskan lagi disini? Apa pria ini juga akan memintanya untuk berhenti?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...