Perempuan yang duduk di atas ranjang pasien itu menoleh. Seorang lelaki datang membawa parcel buah dan bucket bunga mawar masuk melawati pintu dan menutupnya kembali. Ia tersenyum, tatapan matanya berbinar dengan langkah kakinya yang masih melaju menghampiri wanita cantik dalam ruangan itu.
"Kenapa Mas Ali kesini?"
Kakinya berhenti berjalan. Dadanya terasa memanas sejenak. Mengapa perempuan itu berbicara begitu? Karena tidak perlu ditanya, ia kemari untuk berkunjung, juga ingin melihat keadaan istrinya.
"Aku kesini buat jenguk kamu, Nadira." Jawab Ali. Ia cukup bingung.
"Aku nggak mau Mas Ali ada disini."
Ali diam. Matanya masih melihat Nadira dari jarak yang cukup jauh. Tetapi sebentar, mengapa gaya bicara Nadira berbeda. Sikapnya pun tidak sama. Seolah-olah perempuan itu bukan Nadira, tatapan matanya kosong. Wajahnya penuh dengan kekeewaan yang begitu dalam.
"Nadira, aku mau ngomong sama kamu."
"Nggak. Aku nggak mau ngomong sama Mas Ali."
Dengan tatapan datar perempuan berjilbab putih itu akhirnya menangis. Ali ingin melangkahkan kakinya lagi, tetapi isyarat telapak tangan Nadira yang terangkat membuatnya mengurungkan niat untuk kembali berjalan.
"Aku minta maaf, aku-"
"Aku kecewa sama Mas Ali. Aku nggak mau lihat Mas Ali lagi. Aku minta Mas Ali keluar!" Tangisnya semakin pecah hingga terdengar begitu pilu.
Ali menggelengkan kepalanya. "Nggak, Ra. Aku mau jelasin semuanya sama kamu."
"AKU NGGAK MAU!!!"
"Mas Ali? Mas?"
Kelopak mata Ali terbuka dengan cepat, tubuhnya segera bangun dan terduduk diatas sofa. Hembusan nafasnya sulit dikendalikan, dadanya pun terasa berdetak sangat cepat. Hingga beberapa saat kemudian ia menyadari suatu hal.
Jadi tadi hanyalah mimpi.
Namun saat ini ia sadar, seorang perempuan berusia lima puluh tahunan itu berdiri disamping meja ruang tamu dengan tatapan bingung. Ali meraup wajahnya agar tenang.
"Maaf, Mas. Saya yang bangunkan Mas Ali soalnya hp Mas tadi bunyi." Ujar Mbok Inem. "Sekarang sudah jam tujuh pagi, Mas."
Ternyata yang memanggilnya tadi Mbok Inem. Ali mengangguk, ia masih berusaha membuat hatinya tenang. Ali mengedarkan pandangannya pada ruangan itu, kemudian beralih menuju ponselnya yang sudah berhenti berdering karena alarm. Ini yang terjadi ketika ia tidur setelah sholat subuh. Perasaannya menjadi tidak karuan.
"Kalau begitu saya ke dapur dulu ya, Mas." Pamit Mbok Inem.
"Iya, Mbok."
Mbok Inem pergi dari ruangan itu. Sementara Ali masih bergulat dengan pikirannya. Mimpi kali ini membuat perasaannya kembali cemas, ia juga lebih merasa takut untuk menghadapi kenyataan yang mungkin akan terjadi. Apakah mimpi itu menunjukkan perasaaan Nadira saat ini? Apakah tidak menutup kemunginan jika itu adalah sebuah gambaran yang akan dihadapinya?
Ali memejamkan matanya erat. Mengapa saat semesta mendukung pernikahan mereka, ia sibuk menghindar dan menolaknya. Tetapi saat hatinya sudah yakin untuk memiliki cinta itu, tidak ada satu orang pun yang menerima keputusannya.
Selama ini Ali hanya memperumit keadaan.
Usai terdiam cukup lama, lelaki yang masih duduk di sofa itu perlahan bangkit dan mulai berjalan. Langkahnya berhenti lagi saat berpapasan Mbok Inem yang membawa secangkir kopi panas menuju keluar.
"Kemana, Mbok?" Tanyanya datar.
"Ke depan, Mas. Kopinya buat Pak Restu." Jawab Mbok Inem sedikit was-was. Apakah ia salah melakukan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...