Hidup, air dan takdir
Hidup itu seperti air yang mengalir. Tanpa henti, tanpa jeda. Terus berjalan, meskipun kerikil dan bebatuan terkadang memukul pelan. Dengan gerakan ombak mampu membuatnya bertahan menghadapi apapun di depan. Bahkan tanpa ombak pun air akan tetap mengalir, menerobos penghadang di depannya, tanpa peduli
Sama seperti hidup yang tidak bisa memilih takdir, air juga begitu. Dia tidak bisa memilih dimana ia ditempatkan, masih bisakah mengalir atau diam saja menggenang
Air hanya pasrah, hanya bisa tawakkal di jalan hidupnya. Kalau memang ia tidak bisa kemana-mana dan tetap diam, ia akan menerimanya. Karena mengelak pun percuma
Hidup dan air, suatu hal yang mungkin membuat beberapa orang berangan-angan. Membuat diantara mereka membuktikan, kalau diri mereka di tempatkan seperti air. Mereka tidak bisa memilih dari siapa dilahirkan, dan tidak bisa meminta dari negara mana mereka berasal. Mereka hanya bisa mengalir seperti air, dengan berjalannya waktu yang terus bergulir
Puluhan jam, ratusan menit dan ribuan detik mampu membuat perempuan yang duduk di kursi itu memahami tentang hidup. Menghadapi apapun yang ia alami selama delapan belas tahun ini. Mengubah status, menjalankan kewajiban dan amanah yang tersampaikan kepadanya. Mungkin belum sepenuhnya, setidaknya ia bisa tersenyum dan berlapang dada dengan keadaan
Tiga puluh menit perempuan itu duduk terpaku dengan pikirannya yang menerawang, melayang dan berangan jauh. Mengamati setiap inci kejadian selama belasan tahun yang ia hadapi. Baik buruknya, terang gelapnya ia lewati seperti angin. Tidak begitu saja, tetapi dengan kata 'bertahan' membuatnya mampu menapaki setiap langkah di alur hidupnya
Pelan-pelan namun pasti, perempuan itu menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Menganggap tak ada beban apapun yang ada di hatinya. Mungkin beberapa orang akan bertanya ada apa, mungkin juga diantara mereka akan menganggap itu adalah hal biasa. Tetapi tidak untuknya, perubahan drastis sikap seseorang membuat hatinya tidak enak beberapa waktu terakhir ini
Ya, sikap Ali sejak Nisa masuk rumah sakit satu minggu lalu berubah sampai sekarang. Padahal ibunya itu hanya dua hari saja dirawat inap di rumah sakit. Ali banyak diam dan hanya menjawab singkat saat Nadira bertanya. Sebenarnya apa yang menganggu suasana hati Ali hingga bersikap seperti awal bertemu Nadira lagi? Apa ia sudah bosan mengubah perilaku baik untuk Nadira yang akhir-akhir lalu juga ia tampakkan?
Padahal baru saja lelaki itu terlihat bersimpati kepada istrinya pelan-pelan, dan sekarang? Ia berubah lagi dengan cepat. Begitu mudahkah suasana hatinya berubah? Atau memang sebenarnya tidak pernah berbalik sedikitpun?
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar memenuhi ruang keluarga di lantai bawah. Nadira menyadarkan lamunan dan berdiri dari tempat duduknya, meraih gagang pintu dan membuka
"Ada apa ya, Mbok?"
Mbok Inem tersenyum "Maaf, Mbak. Sudah pukul setengah tujuh, sarapan juga sudah siap"
Nadira memejamkan mata sebentar
"Ya Allah Mbok, Maaf ya saya nggak bantu tadi. Saya tadi habis nyiram bunga langsung kesini"
Mbok Inem mengangguk mantap
"Eh iya mbak, ndak apa-apa. Lagipula saya senang Mbak ndak bantu saya, saya sudah repotkan Mbak Dira setiap hari, loh"
Nadira tersenyum sambil menggeleng pelan. Ia membuka pintu agak lebar lagi dan berjalan keluar bersama Mbok Inem, menuju ruang makan yang hanya berjarak enam meter saja dari ruang keluarga lantai bawah
"Mas Ali dipanggil ndak, Mbak?"
Nadira menyeret kedua matanya ke arah tangga rumah. Sudah pukul setengah tujuh, dan biasanya Ali akan turun dengan otomatis tanpa harus mengetuk pintu kamarnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...