Lelaki bertubuh tinggi itu menuruni anak tangga satu persatu dengan langkahnya yang lamban. Matanya menatap kedua kakinya yang melangkah. Tubuhnya tampak begitu lesu juga tak bersemangat. Bibirnya tertutup rapat. Hening. Tak ada suara yang ia dengar selain hatinya yang berbisik.
Hingga tapak kakinya berhenti pada salah satu anak tangga di pertengahan jalan. Jas dan tas hitam masih ada dalam genggamannya. Lagi-lagi hatinya memanas. Seru nafasnya kian cepat.
Ali masih mengingat kejadian semalam. Usahanya dan kegagalan yang ia alami. Pastinya juga dengan jawaban Nadira yang menghempas tujuan utamanya. Lagi-lagi ia harus dihadapkan dengan kenyataan yang berbeda dengan apa yang direncanakan. Ya, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menyalahkan dirinya sendiri.
Dari atas tangga matanya mencari dimana Nadira berada di setiap pagi. Di dapur. Namun kali ini Ali tidak melihatnya ada disana. Yang ada hanya satu piring nasi goreng dengan segelas susu putih di atas meja makan. Ali sulit menahan perasaannya kalau ia sangat ingin Nadira tetap disini. Ia tidak ingin lagi Nadira pergi dari rumah ini.
Tetapi sekali lagi Ali harus membuka hati dan pikirannya lebar-lebar. Bukankah semua ini adalah hukuman yang seharusnya ia terima atas apa yang sudah dilakukannya selama ini? Meskipun ia sangat tidak sanggup. Jika ada yang bisa lalukan untuk menebus semuanya ia siap selain kehilangan istrinya. Karena ia sudah menemukan cintanya pada Nadira. Dan ia sendiri yang membuatnya terluka.
Helaan nafas Ali terdengar samar. Berusaha menyemangati dirinya sendiri agar tetap tegar. Dengan kalinya yang kembali melangkah ia mencoba untuk meyakinkan pada dirinya sendiri kalau semua ini akan berakhir. Nadira mungkin akan pergi dan pasti kembali padanya. Namun, akankah itu terjadi sesuai keinginannya?
Langkah kaki Ali kembali berjalan menuju lantai bawah untuk duduk di kursi makan. Tetapi saat ia sudah sampai disana, tubuhnya kaku. Matanya menatap piring nasi goreng itu dengan hampa. Sebenarnya dimana Nadira? Sejak tadi pagi ia tidak melihatnya. Bukankah tidak mungkin kalau Nadira sudah berangkat tanpa pamit lagi padanya?
Tap tap tap.
Suara tapak kaki turun melewati tangga itu membuat Ali menoleh. Ya, benar Nadira disana. Tetapi ia dikejutkan dengan sebuah koper sedang yang istrinya bawa. Perempuan dengan penampilan rapi itu juga membawa tas selempang kecil pada bahu kirinya. Juga tangan kanannya yang sibuk dengan ponsel. Hingga sampai pada lantai dasar, ia menoleh pada Ali yang berada di samping meja makan menatapnya.
Lelaki itu tertegun. Wanitanya yang cantik ini rupanya sudah bersiap. Ya, bersiap untuk pergi dari rumah ini. Tidak bisa dipungkiri ia sangat sulit menerima itu.
"Kamu udah siap-siap, ya?" Tanya Ali dengan suara cukup serak.
Nadira mengangguk. "Iya, Mas." Jawabnya. Kemudian merunduk lagi.
Ali berdehem untuk menyesuaikan suara. Juga menghilangkan kecanggungan diantara mereka.
"Aku yang antar, ya." Sebenarnya Ali tidak menawarkan tetapi memang meminta agar ia yang mengantar Nadira.
Perempuan itu menggeleng. "Maaf, Mas. Saya sudah pesan taksi." Katanya pelan.
"Kalo dibatalin aja, gimana? Aku juga sekalian ke kantor." Katanya. "Ya?"
"Tetapi bukannya Mas Ali belum makan?" Mata Nadira bingung melihat kemana. Karena Ali menatapnya cukup intens.
"Iya. Aku makan di kantor nanti. Bentar aku siapin bekalnya dulu."
Lelaki itu melangkah mundur dan setelahnya berjalan maju cepat-cepat untuk mengambil kotak bekal di dapur. Sementara Nadira masih disana dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya hanya melihat Ali yang sudah menghilang dari pandangannya. Ini sudah pukul enam lebih lima belas menit pagi hari, ia tidak ingin Ali terlambat karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...