Bagian 47

20K 1.1K 289
                                    

Brankar rumah sakit di dorong cepat oleh tiga orang suster dan seorang lelaki yang membawa pasien itu kemari. Matanya tak beralih sedikitpun dari wajah perempuan yang tengah berbaring tidak sadarkan diri itu. Tangan kanannya menggenggam erat pergelangan tangan Nadira. Berkali-kali mencoba memastikan bahwa nadi yang lemah itu akan tetap bertahan.

Hingga mereka sampai di di depan pintu bertuliskan UGD pada papan nama ruangan itu. Di antara mereka membuka pintu dan segera membawa pasien masuk. Sementara Ali hanya berdiri disana karena tahu ia tidak akan bisa mengikuti Nadira ke dalam ruangan gawat darurat itu.

Salah satu suster menghampiri Ali. Sementara lelaki itu masih memastikan Nadira yang dibawa masuk oleh beberapa suster ke dalam UGD.

"Maaf, Pak. Karena tangan anda terluka, mungkin kami bisa memeriksany-"

Ali hanya menggeleng. Saat pintu ruangan itu mulai tertutup, matanya terpejam cukup lama. Ia mencoba yakin kalau semua akan baik-baik saja.

"Tetapi kalau dibiarkan bisa-"

"Nggak usah." Jawab Ali singkat.

Suster itu berusaha memahami. Ia mengangguk ramah.

"Baik, Pak. Kalau begitu. Permisi." Ucap Suster berpamitan.

Kini disana hanya tersisa pria dengan penampilan yang tidak karuan itu. Matanya menatap hampa pintu dari luar ruangan. Perasaannya masih sama, pikirannya kalut. Bagaimana kejadian ini terjadi dalam satu waktu yang singkat?

Ali merasa tubuhnya berada di awang-awang. Benaknya masih menyimpan kejadian di gudang itu. Ia tidak sanggup mengingat tragedi saat Nadira kesakitan karena pisau dari pria sialan itu. Deru nafasnya masih memburu. Kenapa harus Nadira yang terkena imbasnya?

Tubuh Ali tetap berdiri meskipun tidak begitu tegak. Ternyata rasanya sesakit ini melihat perempuannya terluka. Rasa sesal itu pun tak kunjung pulih karena ia sangat terlambat menghambat semuanya.

Mengapa saat ia benar-benar ingin kembali dan memperbaiki, semua keadaan ini terjadi?

Bamm.

Kepalan tangan kanan Ali membentur dinding koridor rumah sakit cukup keras. Kepalanya merunduk. Nafasnya terdengar begitu berat setiap hembusannya. Ya, ia menyesal. Dan tidak pernah merasa sedemikian ini.

Dari arah samping kiri, lelaki yang membawa tas ransel itu menghampirinya dengan tatapan heran. Seolah merasa mengenal orang yang tertunduk dengan penampilan acak-acakan itu ia mempercepat langkah kakinya.

"Ali?"

Ali tak menoleh. Ia masih sibuk dengan pikirannya yang berkecamuk kemana-mana. Ia berpikir bagaimana kondisi Nadira sekarang. Mengingat banyak darah yang mengalir dari perut Nadira, apa perempuan itu bisa bertahan?

"Ali??" Orang itu menarik Ali yang seperti akan membenturkan kepalanya pada dinding rumah sakit. Ia semakin heran dengan lelaki itu.

"Li, kenapa?" Tanya Rizal tidak paham. Suami Zoya itu tampak bingung.

"Kamu kenapa, sih?"

Ali memberontak dan melepaskan diri dari Rizal. Rizal mengalah, ia mulai memperhatikan penampilan Ali yang tak karuan. Sebenarnya ada apa dengan adik iparnya itu?

"Kamu kecelakaan?" Tanya Rizal. Ia menengok ruangan itu sebentar.

"Yang disini siapa? Istri kamu?"

Lagi-lagi pertanyaan Rizal tidak dijawab oleh Ali. Lelaki yang menenteng seragam dokter itu mulai mengambil ponsel dari sakunya dan menghubungi seseorang. Sambil menunggu telepon terjawab mata Rizal menangkap bayangan tangan kalau kanan Ali terluka.

NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang