Sang baskara mulai menampakkan sinarnya. Sedikit demi sedikit namun pasti hingga warna langit yang gelap berubah menjadi terang. Seolah memberi salam hangat dan senyuman untuk memulai hari yang baik.
Pintu mobil berwarna putih itu bergeser ke belakang. Memberi celah dua orang yang berada di dalamnya untuk keluar. Dua orang lagi di depan juga ikut turun. Mereka berada di tepi jalan depan rumah dengan gerbang hitam itu.
"Taruh sini aja, Pak. Nanti biar kami yang bawa masuk." Kata Nisa.
"Tidak apa-apa, Bu. Biar saya bantu." Kata Sopir pribadinya tidak ingin kalah.
Wanita berusia lima puluh tahun itu tersenyum. Ia menggeleng tanda tidak setuju. Segera ia meraih tas besar itu dari tangan Pak Anto.
"Udah, Pak. Pak Anto balik saja. Katanya tadi mau antar anaknya ke klinik."
Pria itu sedikit kikuk. Merasa tidak enak jika harus meninggalkan majikannya di tepi jalan.
"Udah, Pak. Orang cuma bawa tas gini aja kok dibantu. Cepat, gih. Saya usir lo ini." Kata Nisa menampakkan senyumnya.
"Iya, Bu. Saya pamit pulang. Kalau Bu Nisa butuh apa-apa, segera hubungi saya ya, Bu." Katanya.
"Iya gampang."
"Permisi, Bu, Mbak, Mas." Pamitnya pada tiga orang yang ada disana. Pastinya Nisa, Nadira dan Ali.
Dari balik gerbang wanita berdaster tampak terburu-buru, segera membuka pintu besi itu dari dalam. Ia tersenyum pada mereka yang menunggu. Sedikit meringis karena ia merasa tidak bertindak cepat saat majikannya datang.
"Selamat datang, Mas Ali." Sapanya.
Ali mengangkat ujung bibir kirinya sedikit. "Iya, Mbok."
Nisa dan Nadira juga tersenyum ramah. Mbok Inem juga tersenyum kepada mereka.
"Biar saya bantu, Bu." Tawar Mbok Inem.
"Eh nggak usah, Bi. Orang-orang itu pada kenapa, sih. Bawa gini aja kok dibantu." Ujar Nisa yang membuat Mbok Inem kembali meringis.
"Mbak Dira, Apa kabar?" Tanya Mbok Inem lirih.
Ali menengok mereka sekilas. Nadira dan Nisa tersenyum lagi. Ada apa dengan Mbok Inem? Kenapa wanita itu seolah salah tingkah? Seperti baru bertemu saja.
"Aduh kayaknya Bi Inem kangen banget ya sama Nadira. Temu kangen dulu, ya. Mama sama Ali masuk dulu."
"Saya bantu, Ma." Nadira menawarkan.
"Nggak usah. Mama bisa kok." Jawab Nisa masih dengan senyumnya.
Wanita berjilbab merah maron itu menggandeng lengan kanan Ali.
"Ayo, Li."
Ibu dan anak itu menjauh. Menuju pintu rumah bewarna putih yang jaraknya sekitar dua puluh meter dari gerbang. Sementara Nadira dan Mbok Inem masih berada di samping gerbang yang masih terbuka.
"Alhamdulillah ya, Mbak. Mas Ali sudah sembuh, sudah bisa pulang." Ujar Mbok Inem terlihat ikut bahagia.
Nadira tersenyum. "Iya, Mbok. Terima kasih, ya. Mbok Inem sudah jaga rumah selama hampir dua minggu ini."
Mbok Inem terkekeh. "Ndak jaga rumah, Mbak. Saya cuma nyapu pagi sore sama nutup gerbang rapat. Ndak berani saya tidur di rumah orang tapi ndak ada pemiliknya. Ndak enak, Mbak. Sungkan."
Mbok Inem berbicara begitu karena berulang kali Ali pernah mempersilahkannya untuk tetap tinggal di rumah meskipun ia dan Nadira tidak ada. Alasannya agar Mbok Inem tidak lelah bolak balik ke rumah hanya untuk menyapu dan menutup gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...