Bagian 41

13.6K 780 123
                                    

Pukul sembilan belas lewat sepuluh menit waktu Indonesia bagian barat. Langit di kota Jakarta sudah berubah gelap. Hanya gemerlap lampu-lampu di berbagai tempat sebagai penggantinya. Hari ini awan hitam masih saja menangis, meskipun mulai reda dibanding siang hingga menjelang sore tadi.

Perempuan yang kini duduk di tepi ranjang itu tak bersuara. Keningnya mengerut lama sejak beberapa detik berlalu, ia berpikir tentang kejadian siang hari tadi. Tentang orang misterius yang memakai helm dan mengantar botol berisi coretan kata itu. Juga mengenai maksud dari kata kata berjasa Inggris yang menurutnya masih ambigu.

You.

Sebenarnya siapa yang dimaksud pengirim itu? Apakah dia? Atau Ali? Tetapi kenapa isi kertas itu diungkapkan dengan kata-kata yang membuat hatinya merinding. Meskipun hanya dengan tiga yang saling berhubungan. Namun baginya ini bukan hal biasa. Bahkan ia bisa saja menyebutnya dengan istilah... teror?

Tok tok

"Mbak Dira,"

Suara di luar pintu membuatnya terbangun dari lamunan itu. Nadira tidak segera beranjak. Ia masih setia duduk disana.

"Iya, Mbok?"

"Mas Ali sudah siap makan, Mbak. Mbak ndak turun?" Tawar Mbok Inem.

"Iya, Mbok. Habis ini saya turun. Makasih, Mbok."

"Iya, Mbak. Saya turun dulu, ya."

Setelah mengiyakan ucapan pamit asisten rumah tangganya, Nadira pelan-pelan mengembuskan nafas agar tenang. Mengenai hal yang tadi ia pikirkan, apa Ali juga tau itu? Atau kalau tidak apa ia akan membicarakan itu kepada Ali?

Wanita berkaos dan rok panjang dengan kerudung khas bergonya itu kini beranjak dari kasur. Ia letakkan lagi kertas-kertas itu pada loker samping ranjangnya. Kemudian segera bergegas keluar ruangan menuju lantai bawah.

Nadira bisa melihat Ali yang juga baru menginjakkan kaki ke ruang makan, jadi Ali juga baru turun.

"Nah ini bubur kacang ijo buat Mas Ali sama Mbak Dira." Ujar Mbok Inem saat Ali mulai duduk di salah satu kursi ruang makan dan Nadira masih dalam perjalanan menuju ke sana.

"Banyak manfaatnya loh, Mbak, Mas." Tambah Mbok Inem sekali lagi dengan senyum semangatnya.

"Enak nggak, Mbok?" Tanya Ali setelah tangannya mengambil mangkuk berisi bubur kacang hijau itu.

"Loh ya mesti enak to, Mas. Lah wong buatan e Mbok Sarinem, kok."

Nadira yang baru saja duduk di kursi ruang makan ikut tersenyum. Mbok inem merasa senang karena relasi dua orang itu seolah suka dengan apa yang ia sajikan.

"Tadi jadi masak apa, Mbok?" Tanya Nadira.

Namun pertanyaan Nadira kali ini membuat dada Mbok Inem seketika memanas.

"Nanti makan Mbok gabung sini aja."

Ditambah lagi dengan ucapan datar Ali yang lebih membuat detak jantungnya berdebar kencang.

Mbok Inem menegang di tempat. Matanya melebar tak berkedip selama beberapa detik. Nadira menengok, kemudian bertanya karena heran.

"Mbok kenapa?"

Ali ikut menoleh melihat Mbok Inem yang berdiri di samping meja makan.

"Emm Mbak, Mas." Wajah wanita itu bereaksi cemas.

"Kenapa, Mbok?" Kini giliran Ali yang bertanya.

Tetapi bukannya menjawab, perempuan berdaster itu segera berlari menuju ke arah dapur. Dua orang yang ada di meja makan mengerutkan kening bingung, kenapa dengan asisten rumah tangga mereka itu?

NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang