Pukul enam lebih dua puluh lima menit. Anggap saja pukul setengah tujuh malam. Wanita cantik itu menanggalkan mukenahnya setelah melakasanakan sholat maghrib. Sekarang ia lebih memilih untuk mengakhiri munajatnya, karena perutnya sudah merasa lapar. Setengah jam lagi waktunya makan malam, dan ia akan kebawah
Udara setelah sore ini lumayan dingin, sepertinya hujan akan turun. Tetapi Ali belum juga pulang, apa suaminya itu lembur lagi?
Mukenah sudah diletakkan pada tempatnya, kini giliran Nadira yang harus menempatkan diri ke dapur, mungkin membantu Mbok Inem menyiapkan makanan
"Mas Ali belum pulang, Mbak?" Tanya Mbok Inem saat Nadira sudah berada di dapur
"Belum, Mbok. Saya kok takut kehujanan, ya. Mas Ali kan ndak suka dingin"
Mbok Inem tersenyum "Oalah. Iya, Mbak. Mas Ali ndak suka dingin. Waktu itu pernah dari luar kota terus demam, gara-gara kena hujan"
Mbok Inem melihat wajah Nadira yang terlihat sedikit cemas. Bukan malah ikut khawatir, wanita berambut putih yang digelung simpel itu malah melengkungkan sudut bibirnya keatas
"Mbak Dira khawatir sekali, ya?"
Nadira menoleh kapada Mbok Inem yang mengedipkan-kedipkan mata menggoda. Mata Nadira mengalih, Ia mencoba mengelak
"Ndak kok, Mbok"
"Nggak apa-apa, Mbak. Wajar kok cemas sama suami sendiri"
Nadira sedikit meringis. Memang wajar kalau istri cemas saat suami tidak segera pulang, takutnya dengan siapa disana atau ada apa-apa.
Tetapi untuk Nadira, jelas ditakutkannya bukan yang pertama, tetapi yang kedua. Ali sudah punya perempuan lain diluar sana, jadi Nadira sudah tau dan terbiasa. Tetapi untuk kali ini ia juga tidak harus cemas, karena Ali memang tidak pernah memberitahunya jika lembur atau ada apapun, meskipun hanya lewat pesan singkat
Tok tok tok
"Itu mungkin Mas Ali, Mbak"
Nadira mengangguk. Ia segera melangkahkan kaki ke ruang tamu sebelum pintu diketuk lagi. Entah apa yang membuat hatinya tidak karuan sebelum membuka pintu, hingga akhirnya...
Ceklek
Satu detik setelah pintu dibuka, Nadira masih diam disana. Yang datang juga diam, mereka saling melihat tanpa tujuan. Berbeda dengan lelaki itu yang mengernyitkan dahi, Nadira lebih terlihat melebarkan mata. Ada apa?
"Assalamualaikum, Nadira"
"Waalaikum salam" Jawab Nadira setengah sadar "Mas Mario?"
Mario? Nadira langsung mengerjapkan mata beberapa kali dan beralih. Ali tidak datang dengan Mario, lalu apa hubungan Ali dengan temannya ini sudah berjalan dengan baik? Atau masih tetap sama? Kenapa Mario bisa kesini
"Kalau ketemu Mario lagi nggak usah terlalu respon"
Ia berpikir, kejadian beberapa minggu lalu yang tangannya ditarik begitu saja agar masuk mobil bersama Ali masih membuatnya bingung, sekarang ia harus bersikap apa? Apa dia akan membiarkan tamunya menunggu di ambang pintu luar seperti ini?
"Nadira?"
Nadira menoleh. Suara Mario mencoba membuyarkan lamunannya. Mungkin menurut Mario Nadira melamun, padahal ia masih berpikir
"Ee iya, Mas Mario silahkan masuk"
Semoga saja dengan mempersilahkan Mario masuk tidak membuat Ali marah. Lagipula Ali dan Mario bersahabat, mana mungkin bisa marah terlalu lama
Mario duduk di kursi ruang tamu. Nadira masih berdiri dengan jarak yang cukup jauh, tepatnya di ambang antara ruang makan ruang tamu
Nadira tidak mungkin bertanya tujuan Mario datang tanpa Ali atau teman mereka yang satu lagi. Tetapi yang ia tahu, lelaki itu terlihat tenang dan bersikap biasa saja. Apa mungkin Mario memang sudah tidak ada masalah lagi dengan Ali? Lagi-lagi ia bertanya membatin
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...