"Suatu saat nanti, kalian pasti jadi istri. Namanya saja istri, harus patuh pada perintah suami. Kalau di ajak bicara, yang enak jawabnya. Diajak jamaah, ya jadi makmumnya. Di ajak main, jadi lawannya. Gitu."
"Tapi, semua hal yang berkaitan tentang rumah tangga bukan hanya istri yang menurut. Karena bukan semua hal yang diperintah suami baik hukumnya. Memang, Suami itu raja didalam rumah tangga, dan istri permaisurinya. Kalau istri hanya menurut Tidak hanya menurut tetapi saling membenarkan, menyenangkan, begitu. Dan itu yang bisa menimbulkan keluarga harmonis. Atau yang bisa kita sebut dengan sakinah, mawaddah wa rohmah"
Begitu kata salah satu Ustazah di pesantren waktu hadir dipengajian rutin setelah maghrib
Perempuan itu lembut hatinya. Tetapi selembut apapun hati perempuan, ia tetap kuat. Ia tetap bertahan meskipun pelindungnya tidak ada. Tetap tersenyum meskipun hatinya sendiri terluka. Tetap berusaha tabah meski hanya sedikit saja tenaga yang tersisa sebagai penyangga
Bertahan atau tidaknya, sama seperti menguji kuat atau lemah. Jika perempuan berhati lembut namun ia juga memiliki hati yang kuat, ia akan bertahan. Dan kata Mundur berarti lemah, mundur dari apa yang dipilihnya selama ini. Sudah berjuang untuk tetap disini tetapi berhenti dipertengahan? Itu juga tidak benar
Satu jalan yang dipilih dengan yakin mampu mengubur luka sedikit demi sedikit. Dan dari pilihan mundur atau menetap, tidak ada yang salah
Apapun kejadian beberapa jam tadi membuatnya begitu kecewa, dan ia akan coba lupakan itu. Ini sudah pilihannya dari awal dan dia akan memahami. Meskipun hatinya memberontak minta ampun, tetapi wajah cantiknya masih saja berusaha mengalirkan senyum, itu sudah cukup.
Nadira menengadahkan tangan hingga menutupi wajah. Bersembunyi di balik mukenahnya karena dia menangis. Malu jika sang pencipta melihat.
Tidak bersembunyipun Sang penciptanya tahu. Tetapi perempuan yang terisak itu masih berusaha menenangkan diri. Ia harus mengerti, karena ini jalan yang ia pilih sebelumnya.
"Amin. Amin, Ya Allah"
Ucap Nadira pada akhirnya. Diiringi dengan mengusap wajah mengakhiri doa. Ia berdiri dan membawa sajadahnya. Tanpa terlebih dahulu melepas mukenah, perempuan itu duduk di tepi kasur.
Saat netranya melihat foto berbingkai hitam diatas meja, ingatannya memutar beberapa waktu lalu dipesantren. Foto tiga perempuan memakai khimar itu menampilkan senyum yang lebar. Foto itu diambil sekitar satu setengah tahun lalu saat mereka duduk dibangku Madrasah Aliyah kelas dua.
Jari-jari tangan kanan Nadira mengusap pelan kaca pelindung foto yang berada ditangannya. Kiara, Alina dan dirinya sendiri. Itu dulu, tetapi bukan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Masih bisa dihitung bulan, bahkan minggu masih dengan sebutan teman. Sekarang apa sudah berbeda?
"Aku minta maaf, Nad. Tapi semua ada waktunya. Aku nggak pernah bahagia selama ini. Dan mungkin dunia udah berputar, aku udah nyaman sama Mas Ali, dan aku nggak bisa lepas. Kita udah pernah sama-sama dan itu mungkin saatnya, kamu yang lepas dari aku"
Nadira memeluk foto dalam bingkai itu. Cairan bening itu mengalir lagi. Apa ia harus lepas dari salah satu temannya? Apa semudah itu Kiara mengingkari janjinya untuk tetap bersama?
Ya Allah, kenapa ini sakit sekali
Nadira meletakkan foto di atas meja. Lagi-lagi ia mengusap pipi dan area pelupuk matanya yang basah. Berkali-kali ia peluk hatinya dalam batin agar tenang, tetapi perasaan pilu itu masih saja ada.
Tok tok tok
Dia perlu waktu untuk sendiri. Setidaknya ia akan berusaha memahami. Berusaha tegar ketika bertemu dengan Ali ataupun Kiara. Kalau saat ini dia tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...