Pagi-pagi sekali. Waktu menunjukkan pukul enam lebih dua puluh tiga menit. perempuan cantik berusia delapan belas tahun itu sudah meletakkan satu piring nasi goreng berwarna merah di meja makan. Bukan untuknya, tetapi Ali, suaminya.
Ali turun, melewati tangga menuju ruang makan dengan tangan kirinya yang membawa tas berukuran persegi panjang. Lelaki berwajah dingin dan tampan ini kemudian duduk di samping Nadira yang berdiri.
"Maaf, Mas. Di kulkas tidak ada apapun yang bisa dimasak. Jadi, saya masak nasi goreng saja." Kata Nadira mengawali pembicaraan
"Iya" Jawabnya singkat
Sebenarnya tidak diduga oleh Nadira, kalau Ali akan menyantap makanannya untuk pagi ini. Apa mungkin laki-laki ini sangat lapar, sampai memakan satu porsi nasi goreng itu cepat-cepat. Atau terburu-buru berangkat ke kantor.
Kunyahan Ali berhenti. Ia menengok Nadira yang masih berdiri melihatnya. Nadira diam. Cepat-cepat ia melangkah ke dapur. Dilihatnya lelaki itu dari belakang, ia mulai menyantap makanannya lagi. Senyum gadis itu tersungging sejenak.
Setelah ini ia akan mencoba membahas apa yang ia pikirkan tadi malam. Apapun jawaban Ali ia akan mencoba menerima
Suara piring dan sendok berdenting. Nadira menengok. Ali berdiri dari kursi ruang makan. Cepat-cepat perempuan itu menghampiri suaminya disana
"Mas Ali buru-buru?" Tanyanya
Ali menengok "Kenapa?"
"Tidak. kalau tidak buru-buru, saya..."
"Bicara saja"
Ali menyela. Tatapannya beralih lurus. Nadira mengangguk
"Masalah kemarin, tentang mas Ali yang tidak suka dengan jilbab" Lelaki itu masih diam. Ia lebih memilih fokus membenahi kancing di pergelangan tangannya.
"Apa mas bisa menerima saya kalau saya melepas kerudung?"
"Mungkin. itu mungkin terjadi" Tanpa menengok, laki-laki itu menjawab
"Kalau saya melepas kerudung di dalam rumah, dan keluar masih tetap memakainya, apa itu bisa diterima?"
Tidak lagi menengok, Ali menghadap Nadira yang merunduk setelah berbicara
"Untuk apa kamu melakukan semua itu? yang aku minta bukan melepas kain itu didalam rumah, tetapi saat-saat keluar juga begitu. Aku tidak membutuhkan kamu melepas kerudung atau tidak disini. Tetapi aku hanya butuh perempuan yang terbuka dan bisa diajak kemana-mana. Kalau kamu tidak sanggup, ya sudah"
Nadira diam. Ali berbalik dan melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Mata Nadira mulai berlinang lagi. baru beberapa jangka yang ia tempuh, lelaki itu berhenti. Tanpa menengok, ia berbicara
"Menurutku, perempuan yang seperti itu, perempuan sok suci yang berpenampilan tertutup dengan mengatasnamakan agama. Jadi jangan membuat penampilan itu menjadi percuma karena kamu melepasnya di dalam rumah. Pakai saja, meski ada aku sekalipun"
Langkahnya tidak bisa dihentikan lagi. Ali sudah pergi menuju ambang pintu rumah utamanya hingga punggung tegap itu menghilang. Nadira menghembuskan napas panjangnya. Ia tidak boleh menangis
🌺🌺🌺🌺
Ali keluar dari lift. Ia berjalan menuju ruangannya cepat-cepat. Di depan ruang kerjanya, Mario menunggu. Lelaki itu menegakkan posisi berdiri tanpa melepas kedua tangan yang bersendekap.
"Li" Sapa Mario
"Hmm" Tanpa melihat temannya, Ali membuka pintu ruang kerja. Masuk begitu saja dan duduk di kursi. Mario ikut masuk. Ia sedikit berpikir agar bisa membuat suasana di ruangan itu tidak hening. Ia ingin berbincang sejenak dengan Ali. Ia tahu, satu minggu yang lalu temannya itu kehilangan orang istimewa dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...