Seorang lelaki duduk pada barisan ketiga kursi tunggu di sebuah ruangan yang luas itu. Meskipun punggungnya bersandar dengan santai, namun tidak dengan tatapan matanya yang tajam. Kedua tangannya yang saling bertautan itu mencengkeram. Hembusan nafasnya pun tidak teratur. Lelaki ini seolah-olah sangat menahan diri untuk bereaksi lebih.
Beberapa saat kemudian salah satu pria yang berlalu lalang melihatnya. Lelaki itu sedikit menajamkan penglihatannya sebentar hingga saat selanjutnya menghampiri lelaki dengan mata tajam itu yang duduk di kursi.
"Li?"
Hiro langsung duduk di samping Ali. Lelaki itu sudah paham dengan semua yang terjadi tadi malam hingga saat ini ia menjumpai temannya itu di kantor polisi.
Banyak hal yang membuat Hiro bertanya-tanya tentang malam itu. Tetapi banyak hal yang ia tahu dari kejadian semalam kalau sikap Ali berbalik saat itu juga.
Jujur Hiro tidak paham dengan Ali, lelaki itu begitu misterius sehingga jalan pikiran dan perasaannya tidak bisa ditebak. Baru saja kemarin ia menyalahkan Ali karena berniat ingin bertunangan dengan Kiara, namun saat ini ia malah prihatin dengan kondisi Ali yang cukup tidak karuan. Wajahnya tampak tidak begitu segar dengan mata sembabnya yang Hiro tidak tahu mengapa. Tetapi itu cukup membuktikan bahwa Ali sangat kalut.
"Gimana keadaan Nadira?" Tanya Hiro membuka pembicaraan.
"Belum sadar." Jawab Ali singkat.
Hiro menghela nafas sejenak. Ia merasa sedikit canggung saat ini setelah ia marah-marah karena pertemuan di Kafe itu.
"Li gue nggak ngerti apa yang Lo rasain. Tapi gue paham kalo semua kejadian ini nggak satu-satunya hal yang buat mata Lo kebuka. Iya, kan?" Ucap Hiro yakin.
Ali menoleh sebentar, kemudian kembali beralih. Hiro melanjutkan.
"Karena gue tau Lo bisa bedain mana yang baik buat Lo. Tapi Lo masih berusaha ngehindar aja." Lanjutnya.
"Gak masalah kalo Lo gak ngomong, Lo pendem semuanya sendiri, but I wish you all the best, bro. Oke?"
Ali merunduk. Kedua sikunya menyangga pada masing-masing lutut kanan dan kiri. Cukup lama ia menatap ke bawah, hingga beberapa saat setelahnya Ali mulai mengusap wajah kasar dan mendongak.
"Gue paham sama perasaan gue. Tapi banyak hal yang gue pikirin buat lanjutin itu." Jawab Ali.
Mata Hiro menyipit, keningnya juga mengernyit tak paham. Tetapi ia tidak akan bertanya terlalu jauh.
"Li, are you okay?"
"Enggak." Jawab Ali. Matanya tampak memanas.
"Nyesel gue ninggalin Nadira di rumah malam itu." Ujar Ali pada Hiro. Nadanya tetap datar meskipun cukup menekan.
"Gue belum selesai ngomong sama dia. Padahal waktu itu gue mau jelasin semuanya." Berkali-kali Ali meraup mukanya yang kusut. Wajahnya tampak suram dan memerah.
Hiro tidak berbicara lagi. Ali memang melakukan kesalahan yang cukup besar kepada istrinya, tetapi kejadian semalam bukan satu-satunya hal yang menjudge bahwa Ali bersalah. Dan ternyata yang membuat lelaki itu menyesal adalah meninggalkan istrinya dalam ribuan fakta yang belum ia ungkapkan.
Baru kali ini Hiro melihat Ali begitu kalut.
"Sekarang Lo doa yang banyak. Biar Nadira cepet sadar dan Lo bisa jelasin semuanya." Kata Hiro.
Ali mengangguk. "Banyak harapan gue buat dia."
"Gue ngerti."
Tap tap tap tap
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...