Pukul dua puluh satu lebih sepuluh menit malam. Kedua telapak tangan itu menapaki sajadah, wajahnya mendekati perlahan, hingga kening dan hidungnya menyentuh permukaan kain suci itu. Tiga ucapan tasbih terdengar lirih dari lisannya. Kedua pelupuk matanya terpejam. Merasakan hatinya yang saling bertautan.
"Assalamualaikum waroh matullah."
Diusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dengan lirih dan kepala tertunduk, mengucap basmalah untuk mengawali, kedua telapak tangannya menengadah ke atas. Dan ia mulai berdoa.
Perempuan bermukenah putih itu memejamkan mata. Tanpa suara, namun dengan ucapan hatinya ia meminta.
Hari ini hatinya pilu karena harus melihat wajah-wajah sendu itu menangis di depannya. Pikirannya terbagi kemana-mana. Ia bukan lelah untuk tetap berada disini, ia bukan letih untuk bersikap. Tetapi ia hanya lelah dan ingin tetap meminta hatinya untuk bersabar mencari jalan keluar.
Semua memang bisa saja terjadi, namun terkadang juga bisa dicegah. Kalau kenyataan terlalu rumit untuk diuraikan, lalu bagaimana caranya mencari titik paling terang?
Seorang hamba hanya mampu berdoa, berusaha dan bersabar. Dan ada saatnya kita hanya mampu berserah diri. Karena kita bukan siapa-siapa yang bisa menentukan alur. Yakin dengan sang maha kuasa tentukan itu adalah yang terbaik.
"Alhamdulillahi robbil 'alamin." Lirihnya lagi mengakhiri.
Nadira mulai berdiri. Ia segera merapikan mukenah dan sajadah setelah memakainya. Kemudian meletakkannya pada almari tempat mukenah dalam musholla rumah sakit itu. Kepalanya menengok jam di dinding ruangan itu sekilas. Pukul sembilan malam.
Wanita yang sudah tampak lelah itu keluar dari musholla. Berniat kembali lagi ke dalam ruang rawat atau menunggu di depan seperti tadi. Ia berpikir kalau ibu mertuanya mungkin sudah pulang bersama kakak iparnya. Dan ia barangkali akan menunggu suaminya di dalam ruangan.
Ternyata dugaannya salah. Nadira masih melihat Nisa di depan ruangan. Wajahnya tampak kusut dan masih sayu. Sejak datang ke rumah sakit dan mengetahui kabar sebenarnya tentang Ali, wanita yang tengah duduk itu memang tidak menjenguk putranya sekali pun.
Nadira mendekat. Nisa masih tak kunjung menoleh.
"Mama belum masuk?" Tanya Nadira perlahan mulai duduk.
Dan jawaban Nisa hanya menggeleng. Nadira tahu sikap Nisa pasti akan berubah, tetapi ia tidak mengira kalau ibu mertuanya itu akan sekecewa ini.
"Tadi Keysha minta, kalau kamu sudah selesai sholat langsung ke dalam aja." Kata Nisa. Masih tetap dengan pandangan kosongnya.
Nadira mengangguk. "Iya, Ma. Setelah ini saya masuk."
"Mama nggak apa-apa kamu tinggal. Habis ini pulang kok." Kata Nisa lagi.
Nadira sedikit bimbang mendengarnya. Ia sudah terlanjur berbicara kepada Ali kalau mungkin ibunya masih membutuhkan waktu untuk bertemu. Ya meskipun itu hanya cara agar Ali tenang. Tetapi sampai beberapa jam ternyata Nisa masih belum bisa menjenguk putra tunggalnya itu.
"Kalau begitu saya masuk dulu ya, Ma."
Nisa mengangguk. Nadira mulai beranjak dari kursi ruang tunggu dan berjalan. Ia mulai membuka pintu ruangan Ali kemudian.
"Pokoknya sekarang kamu istirahat. Besok cuma Dira aja yang jagain kamu disini. Kamu yang nurut loh sama Dira. Ya? Aku sama Kak Zoya mau ada urusan soalnya." Kata Keysha kepada Ali yang berbaring di atas ranjang pasien.
"Kamu yang sehat, dong. Biar kalo kumpul nggak di rumah sakit lagi." Ucap Zoya menambahi.
Ali masih saja masam meski bibirnya sedikit tersenyum menanggapi. Zoya menoleh saat suara pintu terdengar ditutup. Ia tersenyum melihat Nadira mulai masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...