"Oh, jadi hari ini mas Ali mau ke luar kota, toh."
Kata perempuan berdaster yang menyiapkan sarapan di meja makan itu. Ia memastikan ucapan majikannya baru saja mengenai kegiatan hari ini.
"Malem nanti, Mbok." Jawab Ali sembari mengambil sebuah piring.
Dari dapur, perempuan berhijab coklat susu itu masih bisa mendengarkan percakapan di ruang makan. Namun ia masih berusaha fokus dengan apa yang sedang dikerjakannya saat ini.
Sejak surat dalam botol itu ia baca kemarin sore, perasaannya semakin tidak tenang. Pikirannya mengarah kemana-mana. Apa yang harus ia lakukan? Jika nanti malam Ali juga pergi dari rumah, pasti tidak mungkin Nadira mengadu soal itu. Tetapi apa iya Nadira bisa bertindak seorang diri? Apa ia akan menemui dan mengahadapi peneror itu sendiri?
Nadira memejamkan matanya sebentar. Takut itu pasti, tetapi jika ia tidak memiliki keberanian untuk menghadapinya, sampai kapan keluarganya akan diteror terus-menerus seperti ini?
"....Kalo sebenarnya rumah ini juga diteror, Mas."
Nadira kembali menoleh saat mendengar Mbok Inem membicarakan perihal itu kepada Ali. Nadira menahan nafas. Bagaimana reaksi Ali menanggapi hal ini.
"Kemarin sampai mau kena Mbak Dira. Besi satu meter itu loh dilempar ke teras rumah, Mas. Untung aja Mbak Dira menghindar." Cerita Mbok Inem lagi.
Tidak ada jawaban. Hening. Hanya suara sendok dan piring yang saling berdenting.
Nadira tidak menampakkan diri dari dapur. Ia hanya mendengarkan dari sana dan menunggu. Bagaimana reaksi Ali saat tahu rumahnya diteror. Jika terus dibiarkan seperti ini jujur saja Nadira juga takut.
"Aku udah cari satpam. Nanti siang datang kayaknya." Kata Ali.
Mbok Inem bernafas lega. "Ya wes, Mas kalau gitu. Saya sudah lega."
Tetapi kenapa Nadira yang masih belum lega. Rasanya masih saja ada yang mengganjal. Sebenarnya ada apa dengan hatinya? Sejak ia bangun tidur hingga sekarang perasannya tidak tenang, dan itu membuat nafasnya tidak teratur sejak tadi.
Kenapa Nadira juga merasa Ali menyepelekan masalah ini? Kalau memang Ali ingin bertindak, kenapa tidak sejak awal ada teror itu. Apa memang Ali baru tahu?
"Nggak usah keluar rumah." Kata Ali pada Mbok Inem. "Kalo emang nggak ada yang penting."
"Iya, Mas." Jawab Mbok Inem.
Nadira menghembuskan nafasnya pelan. Tetapi ini memang tidak sepenuhnya salah Ali. Karena dari awal yang menerima teror itu bukan Ali, melainkan Nadira. Dan wajar saja jika Ali memang baru tahu.
Perempuan itu meletakkan pisau yang dipegangnya di atas telanan kayu. Wajahnya merunduk. Matanya terpejam lagi sejenak.
Ya, memang sepertinya Nadira harus membuat keputusan.
🌺🌺🌺🌺
Waktu menunjukkan pukul delapan lebih enam menit malam hari. Perempuan berhijab grey itu menapakkan kakinya pada ubin Kafe. Salah satu tangannya membuka pintu untuk masuk. Dengan wajah yang datar ia sangat siap menemui dua wanita yang duduk di disana.
Tak ada sapaan saat mereka bertemu. Yang ada hanya tatapan acuh tak acuh yang sama seperti dugaannya. Dengan tersenyum ramah wanita berambut pendek yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu mempersilahkannya untuk duduk. Entah itu senyum permulaan atau hanya sekedar sepantasnya bagaimana, Nadira tidak tahu.
"Nadira mau minum apa?" Tanya wanita itu masih dengan senyumnya.
"Tidak perlu, Tante." Jawab Nadira. "Terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...