Waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit pagi hari. Masih pada hari yang sama ketika pria itu menangis hanya karena saat bangun dari tidur tidak mendapati sang istri disampingnya.
Saat ini perempuan berhijab beraroma harum itu membuka tirai jendela kamarnya. Melihat dari sana sisa-sisa kabut pagi dari sana. Sekilas menengok ke tempat tidurnya yang sudah rapi. Kemudian bola matanya bergeser melihat-lihat hampir keseluruhan ruangan ini. Seolah mengabsen apa saja yang harus ia benahi.
Ruangan ini adalah tempat dimana ia menumpahkan semua reaksinya saat orang lain tidak melihatnya, ia bersedih, bahkan menangis, dan bahagia pun, tempat ini menjadi saksi selama lebih dari satu tahun berlalu.
Sampai saat ini pun terasa seperti mimpi. Seolah-olah pandangan matanya tertutup sebelah, karena bukan seperti hal yang nyata. Kebahagiaan ini terlalu tidak terduga dan terjadi begitu saja. Pernikahan yang pernah ia kira tidak berujung pasti, kini jawaban dari setiap doa dan pertanyaannya ada di depan mata. Memang sangat membutuhkan waktu yang lama, namun tanpa kekuatan-Nya ia tidak akan mampu bertahan disini. Hingga pada akhirnya pembuktian itu bukan Nadira yang mencari, waktu mengajarkannya bahwa segala hal mempunyai caranya masing-masing.
Dan saat ini keputusannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Ia tahu setiap hal tidak selamanya indah, namun mempertahankan kepastian bukan suatu hal yang salah. Jika tidak melalui proses, bagaimana seseorang akan belajar?
Nadira memundurkan kakinya beberapa langkah, kemudian berbalik badan dan berjalan santai untuk membuka pintu kamarnya. baru saja dirinya melangkah keluar, ia mendapati suara lelaki yang sedang berbincang. Siapa lagi kalau bukan suaminya, sepertinya Ali sedang menelpon.
"Kalo bisa seminggu." Ujar Ali. Lelaki itu sedang berada di depan ruang kerjanya sambil menutup pintu. Ia tidak tahu jika Nadira berada di belakangnya namun memang sangat jauh.
Nadira juga menutup pintu kamarnya pelan-pelan, ia takut mengganggu. Mereka berada di lorong yang sama, tetapi Nadira tidak mencoba menghampiri suaminya. Meski sebenarnya ada hal yang ingin ia tanyakan. Mungkin saat ini Nadira akan ke bawah terlebih dahulu untuk menyiapkan sarapan.
"Sama istri gue, lah."
Percakapan itu membuat kepalanya mendongak sedikit. Ia yang sedang berjalan tiba-tiba merasa terpanggil saat Ali berbicara begitu. Entah dengan siapa, tetapi ada apa? Yang dimaksud istrinya itu, dirinya bukan? Bisa-bisanya Nadira masih menanyakan hal ini.
Sesaat kemudian lelaki yang menyampirkan handuk di pundak kirinya itu berbalik badan, ia yang mulanya menatap layar ponsel kini mendongak. Wajahnya sempat terkejut karena melihat istrinya yang ternyata berada disana.
Entah apa yang membuat Ali akhirnya menyunggingkan senyum setelah melihat Nadira. Ia langsung berjalan menghampiri wanita itu di depan tangga menuju lantai satu.
"Aku kira kamu di bawah." Katanya. Lelaki itu meringis.
Kemudian menggunakan handuk di bahunya untuk mengelap keringatnya yang basah sehabis olahraga dari luar.
"Tidak, Mas. Saya baru dari kamar." Jawab Nadira ramah. Wajahnya terlihat adem dengan senyum simpulnya.
Ali menengok kamar Nadira yang pintunya tertutup. Setelahnya ia tampak mengingat-ingat sesuatu.
"Ada barang aku yang ketinggalan?"
Untuk menjawab pertanyaan Ali, Nadira juga harus mengingat-ingat apa benda suaminya yang tertinggal di kamarnya setelah semalam tidur disana.
"Emm sepertinya tidak, Mas. Eh, iya. Ada." Jedanya sebentar. "Flashdisk. Saya taruh di meja tadi. Mas mau saya ambilkan sekarang?"
"Enggak, Ra. Nggak usah. Biar nanti aku aja yang ambil." Balas Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...