Ali berbaring di atas kasur kamar tidurnya dengan tangan kanan menjadi bantal kepalanya. Kelopak matanya terbuka. Menatap langit-langit ruangan itu dengan suasana hampa.
Pagi ini adalah hari ke dua puluh enam Nadira di rumah Ibunya. Sementara Ali menjalani kehidupan seperti biasa di rumah ini sendiri. Mungkin ia hanya pulang mandi, beribadah dan tidur di sofa ruang tamu. Jik a pun bosan, ia memberi makan ikan di kolam dan membersihkan beberapa bagian ruangan di rumahnya.
Saat ini Ali ingin berdamai dengan hatinya sendiri. Walaupun memang sangat sulit. Selama beberapa Minggu ini seakan-akan musuh terbesarnya adalah dirinya. Padahal setiap orang pasti mempunyai kesalahan. Begitupun juga dengannya. Jadi ia tetap bersyukur dan memperbaiki masalahnya pelan-pelan dengan keadaan yang tetap berjalan.
Tentang Nadira. Ya. Ia akan tetap menunggu istrinya pulang. Tetapi ia tidak akan bisa memaksa wanita itu berkeputusan sama. Selama kurang dari satu bulan ini ia memang pergi ke rumah mertuanya hanya untuk memberi sesuatu sederhana tanpa bertemu Nadira. Baginya Nadira butuh waktu dan ia harus paham. Ali juga sudah memutuskan untuk ridho agar Nadira tetap menjadi wanitanya yang shalihah.
Drrrtt drrrtt
Getar ponsel di atas nakas membuatnya menoleh terkejut. Pikiran kosongnya segera berakhir saat itu juga.
Tangan Ali meraih benda itu dan melihat isi layar. Ternyata panggilan dari Kakaknya, Zoya.
"Halo, Li." Suara Zoya sudah terdengar.
"Iya. Kenapa, Kak?" Tanya Ali datar.
Hening. Zoya tidak segera berbicara. Ali yang masih tiduran di atas kasur meletakkan ponsel disana sambil menunggu Zoya bicara.
"Emm gimana, ya. Jadi gini. Bentar ini jam berapa, sih?"
Ali melirik jam di dinding ruangan.
"Jam delapan."
"Oh iya jam delapan. Ini kan hari Minggu, kamu nggak kerja, kan? Nah aku kan nanti ada urusan jam sembilan, bisa nggak kamu jagain Mama?"
Lelaki itu mengernyitkan kening heran. Mengapa Zoya berbicara begitu? Sebenarnya ada apa dengan Mamanya?
"Mama kenapa?" Tanyanya cukup khawatir.
"Oh iya. Kamu belum dikasih tau sama Key, ya?"
"Belum. Mama kenapa?" Ali bertanya lagi.
Kali ini terdengar panik. Tubuhnya terduduk segera.
"Nggak apa-apa. Mama habis dari Bandung. Kecapekan. Terus kemarin pas ke dokter, hipertensinya kambuh." Jelas Zoya.
Ali memijat pelipisnya. Setengah merunduk. Ya, ia benar-benar khawatir dengan Ibunya. Bagaimana bisa ia tidak tahu kalau Sang Ibu sedang sakit? Sudah beberapa Minggu bahkan hampir satu bulan ini ia tidak cukup berani menemui Nisa karena perbedaan pendapat waktu itu. Dan hingga sekarang ia tidak mengerti kondisi Mamanya.
"Ali? Gimana?"
"Iya aku kesana."
Setelah panggilan ditutup Ali terdiam dengan ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas kasur. Ali berpikir, jika nanti bertemu Nisa apakah wanita itu bisa menerima kedatangannya? Juga tidak memintanya memberi keputusan yang ia benci?
Kepala Ali menengadah ke atas. Tetapi bukankah apapun itu ia akan tetap kesana. Dan kalau saja Ibunya ingin berbeda pendapat dengannya, Ali akan mencoba menjelaskan meskipun resikonya tetap sama.
🌺🌺🌺🌺
Nadira membuka kembali isi pesan yang dikirim dari Zoya. Sudah sejak satu setengah jam yang lalu Kakak iparnya itu mengirim pesan bahwa ia ingin menemuinya. Meskipun sudah membalas untuk mengiyakan, tetapi ia masih tidak tenang. Sebenarnya apa yang membuat Zoya ingin kemari? Dan tidak harus bertemu di Kafe seperti biasa? Apakah yang dibicarakan ini sangat serius?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadira
General Fiction[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Melepas jilbabmu. mungkin aku bisa saja terbuka karena itu" Tidak menunggu jarak sedikitpun, lelaki itu pergi, melewati pe...