ENAM PULUH TIGA

87.6K 12.4K 3.3K
                                    

Oke jangan kecewa sama part ini, karena gue gak bisa bikin yang romantis wkwkw.

Warning typo!

~•~•~

Dengan kasar, Gibran mengetuk pintu menjulang tinggi dihadapannya ini. Ia sudah tidak sabar bertemu sekaligus ingin menjelaskan tentang pembicaraan mereka tadi siang. Gibran sadar jika tadi siang ia sudah kelewatan batas. Walaupun niat hati tidak seperti itu, tapi Alana menerima dengan perasaan berbeda.

Tok
Tok
Tok

Ketukan demi ketukan seperti orang kesetanan itu terus Gibran layangkan pada pintu putih itu. Ia sudah sangat-sangat tidak sabar bertemu dengan gadis itu. Ah kenapa lama sekali hanya membuka pintu ini saja? Apa Alana marah dan berniat menghindarinya untuk ketiga kalinya?

Dengan cepat Gibran menepis pikiran negatifnya itu. Hell no! Dia tidak akan membiarkan itu semua terjadi. Langkahnya mondar-mandir di depan pintu dengan perasaan kalut. Ia mengigit kuku-kukunya seperti orang cemas. Pikiran-pikiran negatif terus menyerang otaknya sehingga tidak bisa membuatnya tenang.

Saat ingin mengetuk lagi, pintu sudah terbuka dan menampilkan Alana dengan mata sedikit bengkak. Gibran tersenyum lebar, akhirnya yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul di hadapannya walaupun dengan kondisi yang bisa dikata kurang baik.

Sedangkan Alana, ia mencoba tersenyum dihadapan cowok itu. Alana tebak jika Gibran kesini untuk menceritakan tentang rencananya menembak cewek yang Gibran suka itu. Sungguh, rsanya sangat sakit jika mengingat itu semua. Dari wajah Gibran yang sangat antusias dan ceria itu sangat meyakinkan dan juga 100% tebakannya tidak salah.

"Ngapain kesini?" tanyanya seraya masuk kedalam rumahnya dan di ikuti oleh Gibran.

"Mata lo kenapa bengkak?" bukannya menjawab, Gibran malah balik tanya. Alana memutar bola matanya malas. "Gue tanya seharusnya lo jawab. Bukan malah tanya balik!" dengusnya kesal.

Cowok itu terkekeh lalu mengacak pelan rambut Alana. "Gue kesini mau bicara sesuatu sama elo." jawabnya membuat dahi Alana mengernyit.

"Bicara tentang apa?"

Gibran tersenyum, "Tentang kita."

Deg

Entah dari mana, jantung Alana berdebar-debar kencang seperti ingin jatuh dari sarangnya. Mendadak ia menjadi gugup sekaligus bingung. Tentang mereka? Apa yang harus dibahas tentang mereka? Alana rasa, tidak ada yang perlu dibahas tentangnya dan cowok di hadapannya ini.

"Gue kira lo mau cerita tentang cewek yang mau lo tembak," kekeh Alana mencoba tidak gugup.

Di tempatnya Gibran menahan tawa. "Cewek yang gue maksud di jembatan tadi?" tanyanya berusaha menahan.

Alana mengangguk. "Ya siapa lagi kalau bukan cewek yang lo bilang kegue tadi. Emangnya lo punya cewek lain?" tuduhnya memincingkan matanya menjadi lebih sipit. Sudah sipit, ditambah bengkak, dan sekarang memincing sehingga seperti menutup mata.

Gibran meraup wajah Alana membuat gadis itu berdecak. Ia terkekeh pelan lalu menatap wajah Alana tanpa kedip membuat gadis itu gelisah di tempat.

"L-lo kenapa natep gue sih?" tanya gadis itu seraya menatap kesembarang arah menghindari tatatapan teduh Gibran.

Kepala cowok itu menggeleng lalu menyelipkan rambut Alana kebelakang telinga. Sekali lagi, jantung Alana berdetak tak karuan. Dengan cepat, ia menepis tangan Gibran dan menyelipkan rambutnya sendiri.

Ah sial! Ia menjadi tambah gugup dan juga tidak tenang berada di dekat cowok itu.

"Lo cantik dan gak pantes buat nangis. Apalagi nangisin gue." kata cowok itu membuat Alana melebarkan matanya.

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang