DUA PULUH DELAPAN

107K 11.8K 1K
                                    

Maaf banget nih gantung hehe^_^
Tapi sekarang udah update ya.

Aku seneng kalau kalian komentar-komentar kayak gitu😭 lapaknya jadi tambah rame dari sebelum-sebelumnya.

Jangan lupa, vote dan komentar di setiap paragraf yaa.

Happy Reading

Suara gelak tawa dari empat siswa laki-laki itu mengisi koridor yang sudah lenggang. Para siswa/i sudah berhamburan pulang karena memang sudah waktunya.

Mereka memang sengaja melupakan kejadian di pagi tadi dan juga di taman belakang. Ya, supaya Gibran tidak terus-terusan galau. Cowok jakung itu terus merutuki kebodohannya yang berbicara sembarangan bahkan berucap kata yang tidak pantas. Entahlah, seperti ada setan yang tengah memasuki tubuh Gibran hingga bisa berucap seperti itu.

Maka karena itu, ketiga sahabat Gibran memutuskan untuk melupakan sejenak masalah itu dan membuat fikiran Gibran menjadi jernih lagi. Bukannya mereka ingin ikut campur masalah Gibran dan Alana. Namun, sebagai sahabat mereka harus membantu sekedar hanya memberi petuah ataupun menghibur.

Kini Gibran sudah tidak memusingkan kejadian tadi. Ia memang salah, tapi ia juga tidak harus terus-terusan merutuki kebodohannya sendiri. Bukan Gibran tidak ingin meminta maaf pada Alana. Namun, ia yakin jika Alana sedang ingin menyendiri setelah kejadian itu.

Gibran menyesal, namun terlambat. Alana pasti sudah membencinya dan tidak akan memperbolehkan Gibran bertemu dengan Raska lagi setelah kejadian itu.

"Udah lah, Bran. Nggak usah dipikirin dulu masalah kejadian tadi. Semuanya bisa kita buat pengalaman di hari dan waktu yang akan datang. Lo jangan lagi ngomong kayak gitu. Raska itu anak lo. Lo yang udah nyerahin diri jadi pelengkap orang tua Raska. Jadi... nggak sepatutnya lo ngomong gitu," ucap Raden pelan di akhir kalimatnya. Ia takut jika Gibran malah tersinggung dengan ucapannya dan malah memukulinya.

Gibran menoleh lalu tersenyum masam. Namun, ia malah merangkul pundak Raden. "Nggak usah takut gue tersinggung karena ucapan lo. Ucapan lo itu benar adanya, nggak mungkin gue marah sama lo. Thanks, kalian udah bantu support gue dan nyadarin gue tentang masalah ini. Gue nggak tau lagi kalau nggak ada kalian yang nyadarin gue...." cicit Gibran melepaskan rangkulannya di pundak Raden dan menunduk merasa sangat bersalah.

Fiko mengangguk lalu berdeham, "Nggak usah dibahas dulu. Gue yakin Alana cuma kecewa sama lo. Secara lo kan bapaknya Raska. Jadi, nggak mungkin Alana misahin lo sama anak lo," sahut Fiko menepuk bahu Gibran menyemangati cowok itu.

Gibran tersenyum menatap ketiga temannya. Ah, rasanya senang bisa mempunyai sahabat seperti Fiko, Raden dan Beni. "Lo bertiga emang sahabat terbaik gue.."

Beni pun merentangkan tangannya berniat berpelukan. Namun, tidak ada yang membalas. "Ngapain tangan lo begitu?" dahi Raden mengernyit.

Dengusan kasar keluar dari mulut Beni. "Pelukan bambang.." sahutnya kesal.

Mereka bertiga sontak menjauhkan diri masing-masing. Lalu menatap kearah satu sama lain dan bergidik ngeri. "Dih, gue masih normal ya buat peluk lo!" ujar Raden menggeplak kepala Beni.

Meringis pelan, Beni langsung menatap mereka mendelik. "Jahatnya kalian..." wajah Beni seketika memelas membuat tawa mereka bertiga meledak.

Memang sih, Beni ini selalu mencairkan suasana yang tadinya mencengkam menjadi lebih tenang dan menghangat. Ah, ingin juga memiliki sahabat seperti mereka. Kelebihan dan kekurangan mereka ini membuat mereka saling melengkapi.

"Eh, itu bukannya Alana ya?" tunjuk Raden saat melihat kearah depan.

Disana Alana tengah berjalan perlahan dengan tangan yang memegangi kepalanya. "Ala-"

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang