TIGA PULUH DELAPAN

93.2K 11K 195
                                    

Alana mengusap wajahnya kasar saat Raska tidak berhenti menangis. Balita kecil itu terus merengek ingin bertemu Gibran. Padahal sekarang jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, dan balita itu malah menangis kencang membuat Alana bingung sendiri.

Apalagi, sekarang diantara mereka berdua sudah tidak lagi berkomunikasi melalu sosial media ataupun real life. Mereka sama-sama perang dingin dan juga tidak saling menyapa satu sama lain. Alana bingung sekarang. Ingin menghubungi Gibran, namun keadaan tidak memungkinkan.

"Sayang, udah ya? Ini udah malem lo. Tidur ya? Kita ketemu Pipinya besok aja ya?" bujuk Alana mencoba memberi pengertian.

Namun, balita kecil itu menggeleng dengan tegas tanda tidak mau. Sekarang yang Raska mau hanyalah Ayahnya, Gibran. Ia sedang tidak ingin dengan siapa-siapa. Yang ia butuhkan sekarang Gibran. Raska rindu dengan Gibran. Sejak pertengkaran kedua orang taunya itu, Raska dan Gibran jarang bertemu. Bahkan bertemu hanya jika Gibran mempunyai waktu senggang dan juga pas hari libur.

"Ini udah malem, Sayang.." Alana mencoba membujuk Raska sekali lagi.

Bukannya diam ataupun mengiyakan ucapan Alana, balita itu malah bertambah menangis kencang membuat Alana gelagapan. Dengan malas dan juga mata mengantuk, Alana bangkit dari tidurnya dan mengambil ponsel di atas nakas untuk menghubungi ayah dari balita itu.

Alana : Bran, bisa kerumah?

10 menit belum ada suara notifikasi balasan dari cowok itu membuat Alana menghela napas berat. Lalu, ia pun beralih via video call agar cepat untuk di balas oleh cowok itu. Alana yakin jika Gibran sudah tidur mengingat ini memang jamnya orang tidur.

Dua panggilan belum juga terjawab membuat Alana frustasi sendiri. Tangannya mengangkat Raska kegendongannya dan menepuk punggung balita itu agar lupa dengan apa yang balita itu mau dan juga agar cepat tidur.

Alana menyanyikan lagu penghantar tidur seraya mengelus punggung putranya dengan lembut dan penuh kasih sayang. 10 menit berlalu, akhirnya ia bisa bernapas dengan lega. Dilihatnya balita itu, ternyata sudah terlelap dengan jempol yang dikenyotnya. Alana terkekeh pelan lalu dengan hati-hati ia membaringkan Raska lagi ke ranjang agar tidak kembali terbangun lagi.

Gadis yang sudah menjadi seorang ibu itu tersenyum dengan getir. Sungguh, ia masih tidak habis fikir dengan kedua orang tua kandung balita itu dengan teganya membuang bayi semungil ini di depan rumahnya hanya di balut dengan selimut tipis.

Tiba-tiba saja ia merasa cemas dan khawatir saat mengingat kembali tentang orang tua kandung Raska. Alana takut jika Raska akan diambil oleh kedua orang tuanya beberapa waktu kelak nanti dan meninggalkan Alana sendirian lagi. Ya, walaupun ia sudah tidak kesepian lagi seperti dulu. Tapi, hanya balita itu yang bisa membuat hari-harinya semangat walaupun ia sedang dalam perasaan yang tidak enak.

Kantuk mulai melanda Alana membuat gadis itu menguap dan mengubah tidurnya dengan benar dan baik. Sebelumnya, ia mencium kening dan juga kedua pipi gembul itu dengan sayang dan juga kekehan kecil. Lalu, ia pun terlelap menuju alam bawah sadarnya.

••••••

Pagi ini tidak secerah biasanya. Hujan melanda ibu kota dengan deras membuat cowok yang sedang bergelung di bawah selimut itu mengeratkan selimut tebalnya mencari kenyamanan dan juga kehangatan.

Hujan-hujan seperti ini memanglah sangat enak dengan bergelung di bawah selimut tebal dan juga tidur hingga hujan reda. Tapi, hari ini bukanlah hari libur yang membuat harapan itu pupus begitu saja. Hari ini adalah hari Rabu yang mestinya masuk sekolah.

Pintu kamar Gibran terketuk membuat cowok itu melenguh tanpa membuka matanya. Ia masih setia memejamkan matanya dan semakin mengeratkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Gedoran itu semakin kencang membuat Gibran mendengus. Mau tidak mau, cowok itu harus membuka matanya dengan ogah-ogahan.

"IYA IYA BENTAR!" teriaknya dengan suara yang masih serak khas bangun tidur.

Gibran meregangkan ototnya terlebih dahulu sebelum beranjak dari ranjang ternyamannya itu. Ia pun berjalan dengan gontai menuju kearah pintu kamarnya. Bahkan, matanya juga masih setengah yang terbuka.

"Apasih?"

Gibran membuka pintunya dengan decakan kesal. Sedangkan, Dinda susah melototi anaknya dengan mata yang hampir keluar. Gibran menggaruk pipinya yang terasa gatal dan mulai membuka matanya dengan sempurna. Ia menyipitkan matanya melihat siapa yang berada di depan kamarnya.

Tiba-tiba saja telinganya ditarik keatas membuat Gibran menjerit kesakitan. "ADOH! WOI! SAKIT YAALLAH! INI TELINGA WOII! BUKAN TALI TARIK TAMBANG!" rintihnya menjerit dengan kencang.

"TERIAK LAGI! TERIAK!" kini Dinda juga ikutan teriak saking kesalnya.

Gibran melebarkan matanya saat mendengar suara Dinda yang menggelegar itu. Lalu ia menyengir kuda dan menggaruk rambutnya yang tak gatal. Dengan perlahan ia menurunkan tangan bunda dari telinganya dengan wajah melas.

"Eh, bunda.. ada apa ya bund?" tanpa rasa bersalah Gibran kembali menyengir.

"Ada apa, ada apa! Kamu ini niat sekolah nggak sih?! Ini tuh udah jam berapa?!" sentak Dinda mengomel.

Gibran mundur satu langkah dan menyembulkan kepalanya masuk kedalam kamar guna melihat jam menunjukkan pukul berapa. Seketika matanya melebar saat melihat jam menunjukkan pukul setengah delapan yang artinya ia sudah terlambat sekitar 15 menit.

Apalagi sekarang ia ada kuis matematika yang gurunya sangat terkenal galak dan juga tidak ada toleransi. Tapi, mengingat diluar hujan deras Gibran mengurungkan niatnya untuk bergegas untuk masuk sekolah.

Dikeluarkannya kepala itu lalu tersenyum memamerkan rentetan gigi putih dihadapan Dinda. Dinda mendengus lalu bersedekap dada. Ia sudah tahu apa yang dimaksud anaknya kali ini. Pasti ada maunya nih.

"Berhubung di luar hujan yang amat deras dan pasti akan membuat Gibran bahaya jika masuk sekolah, bolehkan Gibran membolos untuk kali ini wahai kanjeng ratu?" Gibran menundukkan kepalanya sebagai hormat kepada Dinda. Ia hanya berekting menirukan gaya yang ada di kerajaan-kerajaan.

Dinda menggeleng tegas dengan telunjuk yang digerakkan kekanan dan kekiri. "No, no, no! Kamu harus tetep masuk sekolah! Kamu ini udah mau kelas 12 Gibran! Satu minggu lagi kamu kenaikan kelas dan kalau kamu bolos hari ini, pasti bakalan ketinggalan pelajaran!" cerocos Dinda, yang membuat Gibran memutar bola matanya malas.

Gibran mendengus, "Bolos juga cuma sehari.." gumamnya dengan nada pelan, namun masih terdengar jelas oleh Dinda.

Mata wanita paruh baya itu melotot dan bersiap untuk berteriak, "AYAH! ANAKMU NGGAK MAU MASUK SEKOLAH! NGGAK USAH DI BIAYAIN BUAT KELANJUTAN SEKOLAHNYA, YAH!"

Seketika mata Gibran melebar dengan mulit yang menganga amat lebar karena aduan dari bundanya. Bisa gawat jika sudah mengadu dengan Aril tentang biaya sekolah. Sebenarnya sih, nggak masalah kalau Aril menyetop biaya sekolahnya. Gibran masih mempunyai satu kedai cafè pribadinya dan juga café bersama teman-temannya yang pastinya akan menghasilkan uang.

Tapi... ini masalahnya beda lagi kalau udah kayak gini.

Dengan cepat, Gibran langsung memasuki kamarnya untuk bersiap pergi kesekolah. Tidak mungkin jika ia memakai motor untuk pergi pagi ini jika, hujan saja masih deras. Ia akan menggunakan mobil sportnya yang jarang ia pakai setelah sekitar setengah tahun yang lalu ia anggurkan.

Dinda yang melihat anaknya lari terbirit-birit langsung tersenyum puas. Wanita paruh baya itu membenarkan hijab putihnya dengan angkuh lalu berjalan menuju lantai bawah.

"JANGAN KELAMAAN BRAN! NANTI KAMU SEMAKIN TERLAMBAT!" teriaknya menuruni tangga.

"IYA BUNDAKU TERSAYANG!!!"

Dinda terkekeh kecil lalu melanjutkan menyiapkan sarapan pagi ini untuk keluarga kecilnya.

👶👶👶👶👶

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang